Minggu, 18 November 2012

Trisakti KAMMI : Masjid, Markas, dan Media



Belakangan ini siklus trend gerakan Mahasiswa secara keseluruhan bisa dikatakan mengalami penurunan. Ini menyebabkan Tribulensi Gerakan dimana-mana. Ketidakpercayaan mahasiswa secara umum terhadap Gerakan mahasiswa adalah salah satu contohnya. Ditambah lagi dengan semakin pragmatisnya mahasiswa terhadap masa depannya. Keadaaan seperti mungkin akan berlangsung lama ataupun segera teratasi apabila Gerakan Mahasiswa segera melakukan pembenahan dan adaptif dengan kondisi kultural Mahasiswa.
KAMMI sebagai salah satu elemen Gerakan Mahasiswa pun tidak lepas dari permasalahan ini. Oleh karena itu KAMMI harus sadar dari dalam diri, agar pembenahan Gerakan mudah untuk dilakukan.  Untuk membenahi Gerakan ini, paling tidak ada tiga hal yang dikenal dengan Trisakti KAMMI: Masjid, Markas, dan Media. Tiga hal ini yang menjadi Ruh KAMMI dalam setiap Geraknya.
Masjid
            Masjid berasal dari kata sajada yang artinya tempat sujud. Secara teknis sujud (sujudun) adalah meletakkan kening ke tanah. Secara maknawi, jika kepada Tuhan sujud mengandung arti menyembah, jika kepada selain Tuhan, sujud mengandung arti hormat kepada sesuatu yang dipandang besar atau agung. Adapun masjid (masjidun) mempunyai dua arti, arti umum dan arti khusus. Masjid dalam arti umum adalah semua tempat yang digunakan untuk sujud dinamakan masjid, oleh karena itu kata Nabi, Tuhan menjadikan bumi ini sebagai masjid. Sedangkan masjid dalam pengertian khusus adalah tempat atau bangunan yang dibangun khusus untuk menjalankan ibadah, terutama salat berjamaah.
            Dizaman Rasulullah masjid fungsi masjid tidak hanya sebagai tempat orang shalat dan melaksanakan ibadah individual. Masjid dizaman Rasulullah dijadikan sebagai sarana untuk membentuk masyarakat madani. Secara konsepsional dapat dilihat dalam sejarah bahwa masjid pada zaman Rasul memiliki banyak fungsi: (1) Sebagai tempat menjalankan ibadah salat, (2) Sebagai tempat musyawarah (seperti gedung parlemen), (3) Sebagai tempat pengaduan masyarakat dalam menuntut keadilan (seperti kantor pengadilan), (4) Secara tak langsung sebagai tempat pertemuan bisnis.
Yang lebih strategis lagi, pada zaman Rasul, masjid adalah pusat pengembangan masyarakat dimana setiap hari masyarakat berjumpa dan mendengar arahan-arahan dari Rasul tentang berbagai hal; prinsip-prinsip keberagamaan, tentang sistem masyarakat baru, juga ayat-ayat Qur’an yang baru turun. Di dalam masjid pula terjadi interaksi antar pemikiran dan antar karakter manusia. Azan yang dikumandangkan lima kali sehari sangat efektif mempertemukan masyarakat dalam membangun kebersamaan.
Ruh masjid sebagai pembentukan masyarakat madani adalah hal yang seharusnya diteruskan oleh Generasi setelah Rasulullah. KAMMI sebagai generasi Islam yang jauh setelah datangnya Rasulullah harusnya lebih perhatian lagi. Karena dimasjidlah embrio-embrio gerakan mahasiwa ini dilahirkan. Dan disini pulalah para pendahulu memulai Gerakan ini. Pertukaran ide dan gagasan, sharing pengalaman dan pembinaan mental dimulai dari masjid. Dan masjidlah tanah kelahiran KAMMI. Meminjam Pendapat Funding Father Negara ini M. Hatta, bahwa tanah kelahiran tidak boleh dikuasai oleh individu, ia harus dikuasai bersama untuk kepentingan bersama. Hari ini apakah KAMMI disetiap kampus sudah menguasai masjid kampusnya, masih menjadi bahan evaluasi.
Markas
            Masih teringat kita akan Arqam Bin Abi Arqam, dirumah belilaulah yang menjadi salah satu tempat Rasulullah menyampaikan dakwahnya. Dari sini pulalah banyak muncul tokoh-tokoh hebat yang kemudian harinya menjadi pembela Islam. Rumah ini pun menjadi tempat Rasulullah bersembunyi dari siasat musuh pada saat itu. Dari sikap kecil ini, terlihat bahwa begitu pentingnya markas dakwah untuk membentuk peradaban. Kehilangan markas dan tidak terurusnya markas menjadi pertanda kerapuhan sebuah jamaah atau organisasi. Bahkan sebentar lagi akan hancur ditelan zaman.
            Saat ini, perlu dievaluasi seberapa besar kecintaan kader terhadap markasnya, khususnya KAMMI. Karena dari markas inilah tempat untuk membentuk kepribadian, interaksi sosial, berbagi pikiran dan pengalaman, menggali literasi, membaca buku dan hal-hal indah lain. Mungkin saja markas sekarang hanya dijadikan tempat persinggahan sementara untuk merebahkan badan setelah capai berkativitas, hanya untuk tempat kongkoh-kongkoh tak jelas atau hal lain yang tak produktif. Oleh karena itu, ini semua menjadi perhatian kita sebagai orang yang terjun dalam gerakan ini. Sehingga visi peradaban yang diusung oleh markas KAMMI sebgai markas peradaban benar-benar menjadi kenyataan.
Media
            Dalam dunia keterbukaan informasi seperti sekarang ini peran media sebagai alat perubahan sosial yang efektif. Begitu hebatnya media sekarang, sehingga banyak gelombang besar perlawanan terhadap pemerintah diberbagai Negara dikonsolidasi melalui media. Penguasaan media dalam hal ini menjadi sangat penting, oleh karena itu mengapa sekarang kita melihat banyak pemerintah yang sengaja membeli media sebagai corong untuk menyampaikan program dan pembela saat ia salah.
            Sekarang kita bisa menghitung berapa banyak media yang dikuasai KAMMI secara organisiasi. Mungkin secara individu kader sudah banyak yang menguasai media lokal maupun nasional, tetapi secara organisasi masih belum. Untuk membangun hal ini tidak mungkin dengan waktu yang singkat. Harus dimulai sejak dini dari pribadi kader, tentunya dengan penguatan budaya literasi, diskusi dan hal-hal yang menunjang hal ini. Allahu’alam
           
Referensi:
Diskusi: Shortcourse “Muslim Negarawan” Sabtu, 17/11/12 jam 15.30 WIB di Markas Peradaban KAMMI UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Selasa, 13 November 2012

KPK, LSM Atau Ad-Hoc?



KPK Sebuah Harapan
            Dalam berbagai studi mengenai Negara maupun demokrasi. Para ahli kadang berkesimpulan bahwa Negara yang berada dalam transisi menuju demokrasi terkadang menimbulkan banyaknya kekacauan. Salah satu kekacauan yang terjadi dalam transisi menuju demokrasi subtansial adalah Korupsi.
Di Indonesia perhatian mengenai pemberantasan korupsi menjadi banyak perhatian rakyat, apalagi pemerintah. Perhatian ini akhirnya terlembagakan dalam institusi formal yang bernama Komisi Pemberantasan Korupsi yang biasa disingkat KPK pada masa pemeritahan SBY-MYK. Semangat untuk memberantas Korupsi sebanarnya tidak hanya muncul sejak pemerintahan SBY-MYK, tetapi sudah jauh sebelum masa pemerintahan ini.

Orde Lama
            Pada masa Orde Lama tercatat dua kali dibentuk lembaga pemberantasan korupsi. Yang pertama, dengan perangkat aturan Undang-Undang Keadaan Bahaya, lembaga ini disebut Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran). Badan ini dipimpin oleh A.H. Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota, yakni Profesor M. Yamin dan Roeslan Abdulgani. Kepada Paran inilah semua pejabat harus menyampaikan data mengenai pejabat tersebut dalam bentuk isian formulir yang disediakan.
            Kedua, Pada 1963, melalui Keputusan Presiden No. 275 Tahun 1963, pemerintah menunjuk lagi A.H. Nasution, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan/Kasab, dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo dengan lembaga baru yang lebih dikenal dengan Operasi Budhi. Kali ini dengan tugas yang lebih berat, yakni menyeret pelaku korupsi ke pengadilan dengan sasaran utama perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan praktek korupsi dan kolusi.

Orde Baru
Pada masa awal Orde Baru, melalui pidato kenegaraan pada 16 Agustus 1967, Soeharto terang-terangan mengkritik Orde Lama, yang tidak mampu memberantas korupsi dalam hubungan dengan demokrasi yang terpusat ke istana. Pidato itu seakan memberi harapan besar seiring dengan dibentuknya Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), yang diketuai Jaksa Agung. Namun, ternyata ketidakseriusan TPK mulai dipertanyakan dan berujung pada kebijakan Soeharto untuk menunjuk Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa, seperti Prof Johannes, I.J. Kasimo, Mr Wilopo, dan A. Tjokroaminoto, dengan tugas utama membersihkan Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, Pertamina, dan lain-lain.
Empat tokoh bersih ini jadi tanpa taji ketika hasil temuan atas kasus korupsi di Pertamina, misalnya, sama sekali tidak digubris oleh pemerintah. Lemahnya posisi komite ini pun menjadi alasan utama. Kemudian, ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah Operasi Tertib (Opstib) dengan tugas antara lain juga memberantas korupsi. Perselisihan pendapat mengenai metode pemberantasan korupsi yang bottom up atau top down di kalangan pemberantas korupsi itu sendiri cenderung semakin melemahkan pemberantasan korupsi, sehingga Opstib pun hilang seiring dengan makin menguatnya kedudukan para koruptor di singgasana Orde Baru.
Era Reformasi
Di era reformasi, usaha pemberantasan korupsi dimulai oleh B.J. Habibie dengan mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru, seperti Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), KPPU, atau Lembaga Ombudsman. Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid, membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000. Namun, di tengah semangat menggebu-gebu untuk memberantas korupsi dari anggota tim ini, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan dengan logika membenturkannya ke UU Nomor 31 Tahun 1999. Nasib serupa tapi tak sama dialami oleh KPKPN, dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, tugas KPKPN melebur masuk ke dalam KPK, sehingga KPKPN sendiri hilang dan menguap. Artinya, KPK-lah lembaga pemberantasan korupsi terbaru yang masih eksis.

LSM Atau Ad-Hoc?
Dengan adanya KPK ini, ekspektasi-optimis berlebihan dari masyarakat menjadi harapan tersendiri untuk selesainya kasus korupsi di Negara tercinta ini. Harapan ini menjadi ruh tersendiri bagi KPK dalam aksinya memberantas kasus korupsi di Indonesia. Sejak dibentuknya sampai sekarang sudah banyak kasus yang ditangani oleh KPK dan banyak juga yang sudah selesai.
Akan tetapi, kinerja KPK yang menurut banyak orang adalah baik, menjadi Bomerang bagi lembaga inti Negara lainnya seperti Kepolisian. Masih hangat diingatan kita kasus simulator SIM. Kepolisian dalam hal ini seakan tersudut oleh desakan dan dukungan masyarakat kepada KPK. Kejadian ini semakin memperkeruh hubungan antara KPK dengan lembaga Inti Negara lainnya, padahal seharusnya KPK menjadi partner lembaga inti Negara dalam menyelesaikan kasus korupsi dinegara ini. Sikap KPK yang cenderung menguatkan citra dan bersikap seolah-olah LSM bukan sebagai lembaga pemerintah (adhoc), yang senang mengkritik pemerintah menurut penulis membuat pemberantasan Korupsi dinegara ini menjadi tidak efektif, jika di bandingkan dengan Negara-negara lain.
Terlebih lagi sikap KPK yang cenderung mengambil korupsi-korupsi dalam jumlah kecil dan enggan memberantas yang besar menjadi kritik tersendiri bagi banyak orang. Seharusnya KPK mengambil karupsi-korupsi besar dan berani masuk kedalamnya, artinya yang harus diselesaikan terlebih dahulu adalah kasus besar sehingga kasus kecilpun akan mengikuti. Selajutnya KPK harus memperbaiki hubungan kerjasama dengan Lembaga Inti Negara lainnya seperti Kepolisian dan Kejaksaaan. Semoga dengan kerjasama yang baik tersebut kasus korupsi dinegara ini bisa diberantas dengan efektif, sehingga semua orang menjadi tenang hidup di bangsa yang kita cintai ini. Salam Anti Korupsi.



Referensi:
http://id.wikipedia.org/wiki/Komisi_Pemberantasan_Korupsi diakses pada tanggal 13/11/2012 Pukul 12.07 AM
Gambar: http://www.hariansumutpos.com/2012/10/43114/sebelum-kisruh-kpk-sby-panggil-kapolri diakses pada tanggal 13/11/12 pukul 1.15 AM