Saat
membaca salah satu status seorang teman di facebook, saya tersentak kaget dan sedikit heran, karena mungkin
kondisi ini sudah sangat menggejala ditengah-tengah
masyarakat apalagi masyarakat perkotaan. Kira-kira bunyi statusnya kurang lebih
seperti ini:
“Peradaban
masa depan sangat ditentukan oleh kualitas anak-anak kita...disitulah dharma
terbaikmu hai perempuan *Menatap ratusan seragam oranye yang nyaris semuanya
asyik dgn BB :)* #Mishfalah, HUT DWP Ke-13#” (Status Facebook, 12/12/2012)[1]
Kemudahan teknologi
seakan menjadi Tuhan baru saat ini, selingan-selingan teknologi yang kebablasan
tanpa kontrol serasa adalah hal biasa. Sampai tak ingat waktu, tak ingat teman,
tak ingat keluarga, apalagi lingkungan sosial masyarakatnya. Tujuan teknologi
yang tadinya baik akhirnya menjadi buruk karena sikap pemakainya yang tak
tepat. Tak ada larangan dalam
berteknologi, karena teknologi dapat membuat kemudahan-kemudahan. Karena teknologi
pulalah keterhubungan dengan dunia luar diri bisa begitu mudah.
Menganjurkan penghujatan
terhadap teknologi pun bukanlah solusi yang tepat. Karena produk revolusi industri
ini membawa berkah tersendiri yang patut disyukuri. Betapa tidak karena
dengannyalah dunia menjadi serasa kecil, gudang ilmu terbuka, semua orang bebas
berekspresi, bahkan dengan adanya sosial media kegiatan seseorang dari bangun
tidur sampai tidur lagi seakan bukan masalah pribadi lagi.
Pesatnya
perkembangan teknologi didukung dengan tumbuhnya ekonomi memudahkan kepemilikan
masyarakat terhadap kepemilikan teknologi. Dulu misalnya orang-orang punya
handphone disatu kelurahan bisa dihitung dengan jari. Seiring dengan kemudahan
ekonomi dan teknologi sekarang orang punya handphone lebih dari satu bukanlah
hal yang mewah lagi. Bahkan sekarang handphone dengan vitur yang tinggi bisa
didapat dengan harga yang murah. Dalam penggunaan handphone Indonesia masuk
dalam urutan keempat setelah Cina, India, dan Amerika. Jumlah handphone di Indonesia diperkirakan mencapai
sekitar 250,100,000 buah handphone. Dengan jumlah penduduk
mencapai 237,556,363 maka perbandingan jumlah penduduk
yang menggunakan handphone mencapai 105.28%,[2]
atau dengan kata lain jumlah handphone di Indonesia lebih banyak dari jumlah
penduduk. Terlebih lagi alternatif provider membuat ini semakin mudah.
Dalam keseharian,
handphone adalah kebutuhan. Orang seakan tak bisa hidup tanpa alat ini. Seperti
halnya teman dalam sepi, handphone dapat menjadi teman penghibur. Vitur canggih
seperti apel, android dan Blackberry, mengambil peran signifikan dalam hal ini.
Bisa dibayangkan orang begitu betah dengan apel, android ataupun Blackberinya sampai berjam-jam.
Teknologi dan Erosi Sitem Sosial
Seperti hukum
kekekalan energi; energi tidak dapat diciptakan, ataupun dimusnahkan, tetapi
dimanfaatkan. Karena energi adalah sebuah keniscayaan dalam kehidupan. Begitu juga
teknologi, tidak dapat diciptakan ataupun dimusnahkan, tapi dapat dimanfaatkan.
Karena itu teknologi bagian dari keniscayaan.
Bagaimana cara orang memanfaatkan
itulah yang menjadikan fungsi teknologi itu berbeda-beda. Ibarat pisau kalau
digunakan oleh orang tepat dan baik, maka ia akan melakukan sesuatu yang tepat
dan baik dengan pisau tersebut. Akan tetapi kalau pisau itu dipakai oleh orang
yang tidak tepat ataupun tidak baik bisa jadi adalah hal sebaliknya. Variabel pemanfaatan
ini kemudian menjadi signifikansi tersendiri dalam pemanfaatan teknologi. Teknologi
yang dimaksud dalam tulisan ini tidak semua teknologi, tetapi salah satu macam
teknologi, yaitu teknologi komunikasi, lebih spesifik lagi yaitu handphone.
Pemanfaatan Handphone dalam
kehidupan sehari-hari sebagaimana dijelaskan diatas tidak dapat dihindari. Tetapi
ada variabel lain yang harus diperhatikan, yaitu bagaimana cara memanfaatkan
Handphone. Pemanfaatan harusnya tidak
mengeleminasi atau menghilankan moral, etika ataupun budaya/karakter lokal. Belakangan
ini ketergantungan orang terhadap handphone melampaui batas over. Subtansi dari
adanya Handphone menjadi hilang, tereleminasi dengan aplikasi sosial yang malah
membunuh kehidupan sosial sebenarnya.
Bisa dibayangkan bila seorang Ibu
rumah tangga yang begitu gandrung terhadap Handphone, dan meluangkan begitu
banyak waktunya menunduk melototin Handphone, kapan waktunya untuk mengurus
anak. Pastilah akan menyita waktunya. Padahal sejatinya seorang Ibu memperhatikan
perkembangan anaknya walaupun mencapai kedewasaan.
Terlebih lagi dikalangan anak muda
(remaja) handphone menjadi Tuhan baru. Bahkan perintah-perintah Tuhan dilanggar
karena menuruti perintah Tuhan barunya. Dalam tingkat over, segala aturan
kesusilan bisa dilanggar karena menuruti firman Handphone (sebagai Tuhan
barunya). Erosi sosial pun semakin mejadi-jadi, orang memang terhubung secara
elektronik, tetapi lupa akan indahnya bertemu langsung. Sehingga ia terpenjara
tidak hanya fisiknya tapi juga akalnya oleh gemerlapnya dunia dibalik terangnya
cahaya LCD handphone. Bagian dari ketaatan terhadap Tuhan Barunya, banyak orang
yang rela Menunduk berjam-jam atapun berhari hanya untuk melototin LCD
handphonenya.. Sudikah kiranya mereka dikatakan sebagai “generasi tunduk
kebawah”? Allahu A’lam
Sumber Gambar: http://www.123rf.com/photo_10761828_cute-girl-holding-handphone-with-isolated bacground.html