Kamis, 09 Januari 2014

Mengeja Gorontalo (2)

http://lifestyle.kompasiana.com/

“Pemberontak”begitulah label yang diberikan kepada Soekarno dan beberapa temannya olehpenjajah. Alasannya sederhana, karena Soekarno mengkritik dan mencoba melakukanperlawanan terhadap cengkraman imperalisme-kapitalisme. Tidak sampai disitusaja, Soekarno bahkan di penjara dengan beberapa temannya karena alasanpemberontakan. Tapi itu tidak membuat geming Soekarno untuk tetap memusuhiimperialisme- kapitalisme.

AdalahPledoi Soekarno di persidangan menunjukan bahwa ia sangat tidak menyukai kalauNegara ini dicengkram imperialisme-kapitalisme. Pledoi-pledoi ini kemudianbelakang dikumpulkan dalam satu buku dengan judul Indonesia Menggugat. Pledoi-pledoi yang membuat kita mengertimengapa Soekarno memilih jalan permusuhan dengan imperilisme. Padahal diabegitu punya peluang jikalau saja ingin berdekat-dekat dengan kapitalisme.

Soekarnomemandang kapitalisme sebagai sistem pergaulan hidup yang timbul dari caraproduksi yang memisahkan kaum buruh dari alat-alat produksi. Kapitalisme timbuldari ini cara produksi, yang oleh karenanya, menjadi nilai lebih (kelebihanhasil yang diterima majikan dari produksi kaum buruh) tidak jatuh di tangankaum buruh melainkan jatuh di dalam tangan kaum majikan. Kapitalisme, olehkarenanya pula, menyebabkan akumulasi kapital, sentralisasi kapital dan barisanpenganggur.

Halmenarik dari Soekarno dalam mengartikan imperialisme dan kapitalisme bahwa iabukanlah orang atau juga bukan pemerintah. Ia adalah suatu nafsu, suatu sistemmenguasai atau mempengaruhi ekonomi bangsa lain atau negeri –suatu sistemmerajai atau mengendali- ekonomi atau negeri bangsa lain. Ini adalah suatukejadian di dalam pergaulan hidup, yang timbulnya oleh keharusan-keharusan didalam ekonomi suatu negeri atau suatu bangsa.

Memangbegitulah Soekarno, ialah salah satu orang yang begitu perihatin melihatkemelaratan dan kesensaraan bangsa. Tak heran jika ia begitu “terkesima” dengansosok Marhaen. Seorang pekerja yang sangat melarat hidupnya. Karenakeprihatinannya ini, akhirnya Soekarno mencari sosok tersebut dan tinggalbeberapa lama dengannya. Inspirasi dari sosok inilah kemudian menjadi namaideologi yang dimunculkan Soekarno dengan sebutan “Marhaenisme”.

Begitulahadanya, imperialisme dan kapitalisme datang ke suatu bangsa atau Negara.Menjarah, mencuri sampai keinginan untuk mengganti bangsa dengan bangsalainnya. Penjarahan ini tidak hanya terjadi di Jawa ataupun disebagian daerahNegara ini. Penjarahan terjadi di mana-mana. Gorontalo merupakan salah daerahyang dimasuki oleh imperialisme dan kapitalisme dengan bentuk VOC. Rebutanwilayah, pengaruh, dan bahkan sumber penghidupan menjadi hal yang merugikanmasyarakat Gorontalo (walaupun pada saat itu belum bernama Gorontalo). Bahkanada yang menyebutkan VOC menguasai beberapa perusahaan atau sumber produksi diGorontalo.

Mungkinitu dulu, lalu apa bentuk penjarahan kalau dikontekskan masa kini. Paling tidakkita mulai menemukan ada fenomena perubahan gaya hidup yang terjadi dimasyarakat Gorontalo. Imperialisme dan kapitalisme datang ke Gorontalo denganbentuk pabrikase mungkin tidak banyak. Karena itu menyentuh gaya hidupmasyarakat menjadi pangsa terbesar penyebaran paham ini. 

Tidakapalah jika kita tidak menguasai sebagian besar sumber daya alam Gorontalo,tapi kalau kita kuasai manusianya dari cara berpikirinya itu menjadi modal.Begitulah mungkin cara berpikirnya.  Tanpadisadari cara seperti ini efektif untuk memporak-porandakan masyarakat kita.Sehingga kita tak lagi mencintai budaya sendiri. Mencari budaya di luar kita.Bahkan tidak hanya orang tua, dewasa dan anak-anak juga sudah mulaiterjangkiti.
Takada mungkin solusi yang lebih baik selain kita kembali menata hidup. Dari caraberpikir sampai cara berinteraksi dengan sesama masyarakat Gorontalo. Ada banyaknilai-nilai luhur Gorontalo yang dapat menjadikan hidup tentram tanpa  make-up budayalain.  Dengan begitu semoga hidup semakinterarah dan tidak begitu banyak friksi antar sesame.  Maka, pekerjaan utama kita adalah Menguatkanbudaya, filosofi hidup dan nilai-nilai luhur di tengah masyarakat

Selainitu, Sertakanlah selalu mengingat bahwa imperialisme dan kapitalisme itu bisadatang kapan dan di mana saja. Maka, menjadikannya musuh adalah sebaik-baikperbuatan. Serta tidak takut jika sekadar dilabeli sebagai “Pemberontak”. bersambung...

Mengeja Gorontalo (1)

http://www.indonesia.travel/

Suatu ketika saya terlibat diskusi panjang sambilsantai dengan beberapa teman Gorontalo sesama di rantauan Yogyakarta.Menariknya diskusi ini dipenuhi rasa cinta akan kampung halaman. Rasa cintayang menimbulkan empati. Kemudian saling terbuka atas perasaaan diri, cinta danempati itu bertemu pada titik-titik yang dihubungkan dengan garis panjangkontemplatif atas perkembagan ”diri” Gorontalo. 

Ibarat suatu “diri”, Gorantalo punya hakmengendalikan diri sendiri. Menjauhi penyakit, menghindari sakit, menguatkan imunkekebalan agar kuat diserang penyakit. Semua organ punya hak dan kewajibannyamenjaga diri. Tangan untuk mengatur, kaki untuk berlari, kepala untuk berpikirdan hati untuk merasa. 

Namun apa kondisi”diri” saat ini. Tangan mulai lemas mengatur, jangakauannya semakin pendek,bankan tak dapat lagi bekerja lebih giat. Imun kekebalan ”diri” semakinmenipis, hingga mudah diserang penyakit. Kaki semakin tak kuat berlari, semakinlambat untuk pergi sekadar berempati, lalu lumpuh tak terperi. Semua organterlihat lumpuh, daya upaya pun tinggal setengah antara ikhlas dan pragmatismenjaga diri. Padahal juga usia belum renta, masih muda belia. 

Seperti itulah mungkingambaran sebatas penglihatan kasat mata tanpa ukuran-ukuran empirikal yangrumit. Mungkin juga pandangan seorang yang jauh jaraknya dari tanah kelahirantercinta. Tapi begitulah mewakili sebagian perasaan beberapa anak yang sengajamenghijrahkan diri dan melihat Gorontalo dari jarak jauh. Entah perasaan itubenar atau salah, serta tanpa membutuhkan jawaban, namun begitulah yang merekarasakan.

Gorontalo yang dulupunya nyali keluar dari tirani oligarki dan menembus sentimen agama. Gorontaloyang berani mengambil sikap atas hegemoni yang mendeskriminasi. Gorontalo yang beranimenampilkan diri dengan karakter dan budayanya adi luhungnya. Namun saat ini,itu hanya tinggal romantisme masa lalu yang indah untuk dikenang. 

Orang tua kita dulubegitu bangga dengan bahasa daerah. Menjadikan bahasa daerah sebagai bahasakeseharian. Tanpa malu dan ragu, bahasa daerah menjadi alat untuk menyatukanjiwa dan semangat untuk menyadari bahwa kita berasal dari satu tanah yang sama,Gorontalo. Tidak orang tua, anak-anak juga dahulu dibiasakan untuk menghargaibahasa daerah serta menjadikannya bahasa keseharian. Karena itu tak heran jikapara orang tua kita begitu fasih melafalkan bahasa Gorontalo.

Bahasa daerah sebagaisalah satu kebudayaan Gorontalo, dulu begitu dijaga. Tidak hanya kalangan tua,kalangan muda juga ikut menjaga. Namun hal itu  mungkinhanya sampai pada orang tua kita kelahiran tahun 60-70an. Putra daerahkelahiran 80-90an ke atas mungkin tidak banyak yang lagi menaruh perhatianterhadap bahasa daerah. Tidak sedikit diantara angkatan 80-90an ke atas adaperasaan malu menggunakan bahasa daerah. Idiom tidak gaul, kampungan, gak jaman adalah alasan yang sering dijadikan hujah.

Anak-anak kita saatini tidak diajarkan untuk mencintai dan menjaga bahasa daerah. Bahasa-bahasa diluar kebudayaan kita malah menjadi pavorit. Misalnya, begitu tak ada malunyalagi seorang anak kepada orang tua menggunakan kata ngana, kita, -mohon maaf- juga kadang keluar kata anjing, babi kepada orang yang lebihtua. Padahal kata-kata seperti itu dalam budaya orang Gorontalo tidak dikenal.

Akibatknya tidakdikenal lagi, budaya saling menghormati seorang anak kepada orang tua. Apalagikepada sesama. Kata-kata kasar yang datang dari luar kebudayaan Gorontalodianggap suatu hal biasa. Sudah menjadi biasa tanpa merasa ada yang salahdengan budaya kita saat ini. Kita pun menikmati dan enjoy dengan itu. 

Penjaga budaya punsemakin longgar ikatan talinya untuk menjaga keberlangsungan budaya Gorontalo.Lalu bagaiamana masa depan kita? Bersambung...

Djogja, diantara kantuk, lamunan, dan diskusi...