Rabu, 12 Desember 2012

Menepis “Generasi Tunduk Kebawah”



Saat membaca salah satu status seorang teman di facebook, saya tersentak  kaget dan sedikit heran, karena mungkin kondisi ini sudah sangat menggejala  ditengah-tengah masyarakat apalagi masyarakat perkotaan. Kira-kira bunyi statusnya kurang lebih seperti ini:
Peradaban masa depan sangat ditentukan oleh kualitas anak-anak kita...disitulah dharma terbaikmu hai perempuan *Menatap ratusan seragam oranye yang nyaris semuanya asyik dgn BB :)* #Mishfalah, HUT DWP Ke-13#” (Status Facebook, 12/12/2012)[1]
Kemudahan teknologi seakan menjadi Tuhan baru saat ini, selingan-selingan teknologi yang kebablasan tanpa kontrol serasa adalah hal biasa. Sampai tak ingat waktu, tak ingat teman, tak ingat keluarga, apalagi lingkungan sosial masyarakatnya. Tujuan teknologi yang tadinya baik akhirnya menjadi buruk karena sikap pemakainya yang tak tepat.  Tak ada larangan dalam berteknologi, karena teknologi dapat membuat kemudahan-kemudahan. Karena teknologi pulalah keterhubungan dengan dunia luar diri bisa begitu mudah.
Menganjurkan penghujatan terhadap teknologi pun bukanlah solusi yang tepat. Karena produk revolusi industri ini membawa berkah tersendiri yang patut disyukuri. Betapa tidak karena dengannyalah dunia menjadi serasa kecil, gudang ilmu terbuka, semua orang bebas berekspresi, bahkan dengan adanya sosial media kegiatan seseorang dari bangun tidur sampai tidur lagi seakan bukan masalah pribadi lagi.
Pesatnya perkembangan teknologi didukung dengan tumbuhnya ekonomi memudahkan kepemilikan masyarakat terhadap kepemilikan teknologi. Dulu misalnya orang-orang punya handphone disatu kelurahan bisa dihitung dengan jari. Seiring dengan kemudahan ekonomi dan teknologi sekarang orang punya handphone lebih dari satu bukanlah hal yang mewah lagi. Bahkan sekarang handphone dengan vitur yang tinggi bisa didapat dengan harga yang murah. Dalam penggunaan handphone Indonesia masuk dalam urutan keempat setelah Cina, India, dan Amerika.  Jumlah handphone di Indonesia diperkirakan mencapai sekitar 250,100,000  buah handphone. Dengan jumlah penduduk mencapai  237,556,363  maka perbandingan  jumlah penduduk yang menggunakan handphone mencapai 105.28%,[2] atau dengan kata lain jumlah handphone di Indonesia lebih banyak dari jumlah penduduk. Terlebih lagi alternatif provider membuat ini semakin mudah.
Dalam keseharian, handphone adalah kebutuhan. Orang seakan tak bisa hidup tanpa alat ini. Seperti halnya teman dalam sepi, handphone dapat menjadi teman penghibur. Vitur canggih seperti apel, android dan Blackberry, mengambil peran signifikan dalam hal ini. Bisa dibayangkan orang begitu betah dengan apel, android ataupun  Blackberinya sampai berjam-jam.
Teknologi dan Erosi Sitem Sosial
            Seperti hukum kekekalan energi; energi tidak dapat diciptakan, ataupun dimusnahkan, tetapi dimanfaatkan. Karena energi adalah sebuah keniscayaan dalam kehidupan. Begitu juga teknologi, tidak dapat diciptakan ataupun dimusnahkan, tapi dapat dimanfaatkan. Karena itu teknologi bagian dari keniscayaan.
            Bagaimana cara orang memanfaatkan itulah yang menjadikan fungsi teknologi itu berbeda-beda. Ibarat pisau kalau digunakan oleh orang tepat dan baik, maka ia akan melakukan sesuatu yang tepat dan baik dengan pisau tersebut. Akan tetapi kalau pisau itu dipakai oleh orang yang tidak tepat ataupun tidak baik bisa jadi adalah hal sebaliknya. Variabel pemanfaatan ini kemudian menjadi signifikansi tersendiri dalam pemanfaatan teknologi. Teknologi yang dimaksud dalam tulisan ini tidak semua teknologi, tetapi salah satu macam teknologi, yaitu teknologi komunikasi, lebih spesifik lagi yaitu handphone.
            Pemanfaatan Handphone dalam kehidupan sehari-hari sebagaimana dijelaskan diatas tidak dapat dihindari. Tetapi ada variabel lain yang harus diperhatikan, yaitu bagaimana cara memanfaatkan Handphone.  Pemanfaatan harusnya tidak mengeleminasi atau menghilankan moral, etika ataupun budaya/karakter lokal. Belakangan ini ketergantungan orang terhadap handphone melampaui batas over. Subtansi dari adanya Handphone menjadi hilang, tereleminasi dengan aplikasi sosial yang malah membunuh kehidupan sosial sebenarnya.
            Bisa dibayangkan bila seorang Ibu rumah tangga yang begitu gandrung terhadap Handphone, dan meluangkan begitu banyak waktunya menunduk melototin Handphone, kapan waktunya untuk mengurus anak. Pastilah akan menyita waktunya. Padahal sejatinya seorang Ibu memperhatikan perkembangan anaknya walaupun mencapai kedewasaan.
            Terlebih lagi dikalangan anak muda (remaja) handphone menjadi Tuhan baru. Bahkan perintah-perintah Tuhan dilanggar karena menuruti perintah Tuhan barunya. Dalam tingkat over, segala aturan kesusilan bisa dilanggar karena menuruti firman Handphone (sebagai Tuhan barunya). Erosi sosial pun semakin mejadi-jadi, orang memang terhubung secara elektronik, tetapi lupa akan indahnya bertemu langsung. Sehingga ia terpenjara tidak hanya fisiknya tapi juga akalnya oleh gemerlapnya dunia dibalik terangnya cahaya LCD handphone. Bagian dari ketaatan terhadap Tuhan Barunya, banyak orang yang rela Menunduk berjam-jam atapun berhari hanya untuk melototin LCD handphonenya.. Sudikah kiranya mereka dikatakan sebagai “generasi tunduk kebawah”? Allahu A’lam





Sumber Gambar: http://www.123rf.com/photo_10761828_cute-girl-holding-handphone-with-isolated bacground.html


Sabtu, 08 Desember 2012

Less Trust: Problem Masyarakat Negara Dunia Ketiga



Bagaikan artis sedang naik daun, begitulah kabar Aceng HM Fikri yang mendadak terkenal diberbagai media massa. Beberapa hari menjadi headline dan tranding topic diberbagai media, kasus yang menimpa sang bupati ini, ternyata tidak hanya menjadi perhatian  public, tapi juga menjadi perilaku sebagian masyarakat. Bahkan lebih mengejutkan lagi kabar terakhir kisah nikah singkat empat hari sang Bupati dikalahkan oleh seorang jawara dari Kabupaten Gowa, Muhammad Yunus Bin Jafar yang menikah dalam waktu enam belas jam kemudia menceraikan istrinya (kompas, 8/12/12).
Tidak kalah ramainya diperbincangankan orang dan menjadi tranding topic tersendiri, kisah panjang Menteri Pemuda dan Olahraga, Andi Malarangen, yang akhirnya berujung pada pengunduran diri. Semua menjadi buah bibir ditengah masyarakat dengan segala sudut pandangan entah benar atau hanya sekedar asumsi. Kemudian mereka dengan gampangnya berspekulasi apa sebenarnya yang menjadi permasalah di Negara ini.
Karena semakin kompleksnya permasalahan yang dihadapi, semakin sulit mecari apa sebenarnya akar masalah yang selama ini terjadi. Spekulasi pun semakin menjadi-jadi, ada yang bilang ini masalah kesadaran hukum, kehancuran moral, atau bahkan sampai pada hal terkecil yaitu keluarga. Spekulasi-spekulasi ini kemudian menjadi bahan untuk meghakimi sementara atas fenomena yang terjadi, yang kadang menghilangkan kepercayaan (trus) sebagian masyarakat.

Less Trust
            Meminjam pendapatnya Francis Fukuyama dari bukunya yang berjudul Trust: The Social Virtues and The Creation of Prosperity (1995) bahwa ada perbedaan yang mendasar antara masyarakat dengan kepercayaan social (trust) yang  tinggi dengan  masyarakat yang kehilangan atau rendah tingkat kepercayaan sosialnya (less Trust, pen). Perbedaan itu terletak pada ketaatan mereka terhadap hukum, moral, sistem social, etika keagamaan, dan norma-norma kebaikan lainnya.
            Pada masyarakat yang tinggi kepercayaannya Sosialnya (Trust) mereka akan cenderung akan patuh terhadap hukum, dan aturan-aturan lainnya yang mengatur baik secara social masyarakat maupun Negara. Sedangkan yang terjadi pada masyarakat dengan tingkat kepercayaan social yang rendah (Less Trust)  adalah kebalikannya.
            Rendahnya Tingkat kepercayaan Sosial yang banyak terjadi di Negara Dunia ketiga ini mengakibatkan hilangnya modal sosial (social capital) dan kebajikan sosial ditengah masyarakat. Mungkin Negara dunia ketiga yang diatur begitu lama diatur aturan penjajah yang hanya menguntungkan penjajah, maka masyarakat pun menjadi lemah kepercayaannya terhadap hukum. Bisa disurvei seberapa besar kemudian tingkat pengetahuan masyarakat terhadap hukum dan kemudian pengetahuan itu menjadi modal sosial yang menjadikan mereka percaya terhadap hukumnya.
            Kurangnya tingkat kepercayaan sosial ini dalam waktu yang lama, akan berakibat rusaknya tatanan sistem sosial, lemahnya kepatuhan terhadap etika, norma apalagi terhadap hukum. Karena itu, jangan heran kalau problem-problem yang selama ini terjadi dinegara Dunia ketiga, apalagi Indonesia, menurut penulis karena hilang atau rendahnya Tingkat kepercayaan (Less Trust) sosial ini. Oleh karena upaya yang harus dilakukan untuk mengantisipasi hal ini, tidak hanya dengan solusi Struktural (Structural solving) tapi juga ada hal-hal Kultural (Cultural Solving) yang harus dibenahi, contohnya kecilnya adalah kultur keluarga yang membentuk masyarakat. Allahu’alam

Sumber Gambar: http://withdee.wordpress.com/

Minggu, 18 November 2012

Trisakti KAMMI : Masjid, Markas, dan Media



Belakangan ini siklus trend gerakan Mahasiswa secara keseluruhan bisa dikatakan mengalami penurunan. Ini menyebabkan Tribulensi Gerakan dimana-mana. Ketidakpercayaan mahasiswa secara umum terhadap Gerakan mahasiswa adalah salah satu contohnya. Ditambah lagi dengan semakin pragmatisnya mahasiswa terhadap masa depannya. Keadaaan seperti mungkin akan berlangsung lama ataupun segera teratasi apabila Gerakan Mahasiswa segera melakukan pembenahan dan adaptif dengan kondisi kultural Mahasiswa.
KAMMI sebagai salah satu elemen Gerakan Mahasiswa pun tidak lepas dari permasalahan ini. Oleh karena itu KAMMI harus sadar dari dalam diri, agar pembenahan Gerakan mudah untuk dilakukan.  Untuk membenahi Gerakan ini, paling tidak ada tiga hal yang dikenal dengan Trisakti KAMMI: Masjid, Markas, dan Media. Tiga hal ini yang menjadi Ruh KAMMI dalam setiap Geraknya.
Masjid
            Masjid berasal dari kata sajada yang artinya tempat sujud. Secara teknis sujud (sujudun) adalah meletakkan kening ke tanah. Secara maknawi, jika kepada Tuhan sujud mengandung arti menyembah, jika kepada selain Tuhan, sujud mengandung arti hormat kepada sesuatu yang dipandang besar atau agung. Adapun masjid (masjidun) mempunyai dua arti, arti umum dan arti khusus. Masjid dalam arti umum adalah semua tempat yang digunakan untuk sujud dinamakan masjid, oleh karena itu kata Nabi, Tuhan menjadikan bumi ini sebagai masjid. Sedangkan masjid dalam pengertian khusus adalah tempat atau bangunan yang dibangun khusus untuk menjalankan ibadah, terutama salat berjamaah.
            Dizaman Rasulullah masjid fungsi masjid tidak hanya sebagai tempat orang shalat dan melaksanakan ibadah individual. Masjid dizaman Rasulullah dijadikan sebagai sarana untuk membentuk masyarakat madani. Secara konsepsional dapat dilihat dalam sejarah bahwa masjid pada zaman Rasul memiliki banyak fungsi: (1) Sebagai tempat menjalankan ibadah salat, (2) Sebagai tempat musyawarah (seperti gedung parlemen), (3) Sebagai tempat pengaduan masyarakat dalam menuntut keadilan (seperti kantor pengadilan), (4) Secara tak langsung sebagai tempat pertemuan bisnis.
Yang lebih strategis lagi, pada zaman Rasul, masjid adalah pusat pengembangan masyarakat dimana setiap hari masyarakat berjumpa dan mendengar arahan-arahan dari Rasul tentang berbagai hal; prinsip-prinsip keberagamaan, tentang sistem masyarakat baru, juga ayat-ayat Qur’an yang baru turun. Di dalam masjid pula terjadi interaksi antar pemikiran dan antar karakter manusia. Azan yang dikumandangkan lima kali sehari sangat efektif mempertemukan masyarakat dalam membangun kebersamaan.
Ruh masjid sebagai pembentukan masyarakat madani adalah hal yang seharusnya diteruskan oleh Generasi setelah Rasulullah. KAMMI sebagai generasi Islam yang jauh setelah datangnya Rasulullah harusnya lebih perhatian lagi. Karena dimasjidlah embrio-embrio gerakan mahasiwa ini dilahirkan. Dan disini pulalah para pendahulu memulai Gerakan ini. Pertukaran ide dan gagasan, sharing pengalaman dan pembinaan mental dimulai dari masjid. Dan masjidlah tanah kelahiran KAMMI. Meminjam Pendapat Funding Father Negara ini M. Hatta, bahwa tanah kelahiran tidak boleh dikuasai oleh individu, ia harus dikuasai bersama untuk kepentingan bersama. Hari ini apakah KAMMI disetiap kampus sudah menguasai masjid kampusnya, masih menjadi bahan evaluasi.
Markas
            Masih teringat kita akan Arqam Bin Abi Arqam, dirumah belilaulah yang menjadi salah satu tempat Rasulullah menyampaikan dakwahnya. Dari sini pulalah banyak muncul tokoh-tokoh hebat yang kemudian harinya menjadi pembela Islam. Rumah ini pun menjadi tempat Rasulullah bersembunyi dari siasat musuh pada saat itu. Dari sikap kecil ini, terlihat bahwa begitu pentingnya markas dakwah untuk membentuk peradaban. Kehilangan markas dan tidak terurusnya markas menjadi pertanda kerapuhan sebuah jamaah atau organisasi. Bahkan sebentar lagi akan hancur ditelan zaman.
            Saat ini, perlu dievaluasi seberapa besar kecintaan kader terhadap markasnya, khususnya KAMMI. Karena dari markas inilah tempat untuk membentuk kepribadian, interaksi sosial, berbagi pikiran dan pengalaman, menggali literasi, membaca buku dan hal-hal indah lain. Mungkin saja markas sekarang hanya dijadikan tempat persinggahan sementara untuk merebahkan badan setelah capai berkativitas, hanya untuk tempat kongkoh-kongkoh tak jelas atau hal lain yang tak produktif. Oleh karena itu, ini semua menjadi perhatian kita sebagai orang yang terjun dalam gerakan ini. Sehingga visi peradaban yang diusung oleh markas KAMMI sebgai markas peradaban benar-benar menjadi kenyataan.
Media
            Dalam dunia keterbukaan informasi seperti sekarang ini peran media sebagai alat perubahan sosial yang efektif. Begitu hebatnya media sekarang, sehingga banyak gelombang besar perlawanan terhadap pemerintah diberbagai Negara dikonsolidasi melalui media. Penguasaan media dalam hal ini menjadi sangat penting, oleh karena itu mengapa sekarang kita melihat banyak pemerintah yang sengaja membeli media sebagai corong untuk menyampaikan program dan pembela saat ia salah.
            Sekarang kita bisa menghitung berapa banyak media yang dikuasai KAMMI secara organisiasi. Mungkin secara individu kader sudah banyak yang menguasai media lokal maupun nasional, tetapi secara organisasi masih belum. Untuk membangun hal ini tidak mungkin dengan waktu yang singkat. Harus dimulai sejak dini dari pribadi kader, tentunya dengan penguatan budaya literasi, diskusi dan hal-hal yang menunjang hal ini. Allahu’alam
           
Referensi:
Diskusi: Shortcourse “Muslim Negarawan” Sabtu, 17/11/12 jam 15.30 WIB di Markas Peradaban KAMMI UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Selasa, 13 November 2012

KPK, LSM Atau Ad-Hoc?



KPK Sebuah Harapan
            Dalam berbagai studi mengenai Negara maupun demokrasi. Para ahli kadang berkesimpulan bahwa Negara yang berada dalam transisi menuju demokrasi terkadang menimbulkan banyaknya kekacauan. Salah satu kekacauan yang terjadi dalam transisi menuju demokrasi subtansial adalah Korupsi.
Di Indonesia perhatian mengenai pemberantasan korupsi menjadi banyak perhatian rakyat, apalagi pemerintah. Perhatian ini akhirnya terlembagakan dalam institusi formal yang bernama Komisi Pemberantasan Korupsi yang biasa disingkat KPK pada masa pemeritahan SBY-MYK. Semangat untuk memberantas Korupsi sebanarnya tidak hanya muncul sejak pemerintahan SBY-MYK, tetapi sudah jauh sebelum masa pemerintahan ini.

Orde Lama
            Pada masa Orde Lama tercatat dua kali dibentuk lembaga pemberantasan korupsi. Yang pertama, dengan perangkat aturan Undang-Undang Keadaan Bahaya, lembaga ini disebut Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran). Badan ini dipimpin oleh A.H. Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota, yakni Profesor M. Yamin dan Roeslan Abdulgani. Kepada Paran inilah semua pejabat harus menyampaikan data mengenai pejabat tersebut dalam bentuk isian formulir yang disediakan.
            Kedua, Pada 1963, melalui Keputusan Presiden No. 275 Tahun 1963, pemerintah menunjuk lagi A.H. Nasution, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan/Kasab, dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo dengan lembaga baru yang lebih dikenal dengan Operasi Budhi. Kali ini dengan tugas yang lebih berat, yakni menyeret pelaku korupsi ke pengadilan dengan sasaran utama perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan praktek korupsi dan kolusi.

Orde Baru
Pada masa awal Orde Baru, melalui pidato kenegaraan pada 16 Agustus 1967, Soeharto terang-terangan mengkritik Orde Lama, yang tidak mampu memberantas korupsi dalam hubungan dengan demokrasi yang terpusat ke istana. Pidato itu seakan memberi harapan besar seiring dengan dibentuknya Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), yang diketuai Jaksa Agung. Namun, ternyata ketidakseriusan TPK mulai dipertanyakan dan berujung pada kebijakan Soeharto untuk menunjuk Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa, seperti Prof Johannes, I.J. Kasimo, Mr Wilopo, dan A. Tjokroaminoto, dengan tugas utama membersihkan Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, Pertamina, dan lain-lain.
Empat tokoh bersih ini jadi tanpa taji ketika hasil temuan atas kasus korupsi di Pertamina, misalnya, sama sekali tidak digubris oleh pemerintah. Lemahnya posisi komite ini pun menjadi alasan utama. Kemudian, ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah Operasi Tertib (Opstib) dengan tugas antara lain juga memberantas korupsi. Perselisihan pendapat mengenai metode pemberantasan korupsi yang bottom up atau top down di kalangan pemberantas korupsi itu sendiri cenderung semakin melemahkan pemberantasan korupsi, sehingga Opstib pun hilang seiring dengan makin menguatnya kedudukan para koruptor di singgasana Orde Baru.
Era Reformasi
Di era reformasi, usaha pemberantasan korupsi dimulai oleh B.J. Habibie dengan mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru, seperti Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), KPPU, atau Lembaga Ombudsman. Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid, membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000. Namun, di tengah semangat menggebu-gebu untuk memberantas korupsi dari anggota tim ini, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan dengan logika membenturkannya ke UU Nomor 31 Tahun 1999. Nasib serupa tapi tak sama dialami oleh KPKPN, dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, tugas KPKPN melebur masuk ke dalam KPK, sehingga KPKPN sendiri hilang dan menguap. Artinya, KPK-lah lembaga pemberantasan korupsi terbaru yang masih eksis.

LSM Atau Ad-Hoc?
Dengan adanya KPK ini, ekspektasi-optimis berlebihan dari masyarakat menjadi harapan tersendiri untuk selesainya kasus korupsi di Negara tercinta ini. Harapan ini menjadi ruh tersendiri bagi KPK dalam aksinya memberantas kasus korupsi di Indonesia. Sejak dibentuknya sampai sekarang sudah banyak kasus yang ditangani oleh KPK dan banyak juga yang sudah selesai.
Akan tetapi, kinerja KPK yang menurut banyak orang adalah baik, menjadi Bomerang bagi lembaga inti Negara lainnya seperti Kepolisian. Masih hangat diingatan kita kasus simulator SIM. Kepolisian dalam hal ini seakan tersudut oleh desakan dan dukungan masyarakat kepada KPK. Kejadian ini semakin memperkeruh hubungan antara KPK dengan lembaga Inti Negara lainnya, padahal seharusnya KPK menjadi partner lembaga inti Negara dalam menyelesaikan kasus korupsi dinegara ini. Sikap KPK yang cenderung menguatkan citra dan bersikap seolah-olah LSM bukan sebagai lembaga pemerintah (adhoc), yang senang mengkritik pemerintah menurut penulis membuat pemberantasan Korupsi dinegara ini menjadi tidak efektif, jika di bandingkan dengan Negara-negara lain.
Terlebih lagi sikap KPK yang cenderung mengambil korupsi-korupsi dalam jumlah kecil dan enggan memberantas yang besar menjadi kritik tersendiri bagi banyak orang. Seharusnya KPK mengambil karupsi-korupsi besar dan berani masuk kedalamnya, artinya yang harus diselesaikan terlebih dahulu adalah kasus besar sehingga kasus kecilpun akan mengikuti. Selajutnya KPK harus memperbaiki hubungan kerjasama dengan Lembaga Inti Negara lainnya seperti Kepolisian dan Kejaksaaan. Semoga dengan kerjasama yang baik tersebut kasus korupsi dinegara ini bisa diberantas dengan efektif, sehingga semua orang menjadi tenang hidup di bangsa yang kita cintai ini. Salam Anti Korupsi.



Referensi:
http://id.wikipedia.org/wiki/Komisi_Pemberantasan_Korupsi diakses pada tanggal 13/11/2012 Pukul 12.07 AM
Gambar: http://www.hariansumutpos.com/2012/10/43114/sebelum-kisruh-kpk-sby-panggil-kapolri diakses pada tanggal 13/11/12 pukul 1.15 AM