Selasa, 13 November 2012

KPK, LSM Atau Ad-Hoc?



KPK Sebuah Harapan
            Dalam berbagai studi mengenai Negara maupun demokrasi. Para ahli kadang berkesimpulan bahwa Negara yang berada dalam transisi menuju demokrasi terkadang menimbulkan banyaknya kekacauan. Salah satu kekacauan yang terjadi dalam transisi menuju demokrasi subtansial adalah Korupsi.
Di Indonesia perhatian mengenai pemberantasan korupsi menjadi banyak perhatian rakyat, apalagi pemerintah. Perhatian ini akhirnya terlembagakan dalam institusi formal yang bernama Komisi Pemberantasan Korupsi yang biasa disingkat KPK pada masa pemeritahan SBY-MYK. Semangat untuk memberantas Korupsi sebanarnya tidak hanya muncul sejak pemerintahan SBY-MYK, tetapi sudah jauh sebelum masa pemerintahan ini.

Orde Lama
            Pada masa Orde Lama tercatat dua kali dibentuk lembaga pemberantasan korupsi. Yang pertama, dengan perangkat aturan Undang-Undang Keadaan Bahaya, lembaga ini disebut Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran). Badan ini dipimpin oleh A.H. Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota, yakni Profesor M. Yamin dan Roeslan Abdulgani. Kepada Paran inilah semua pejabat harus menyampaikan data mengenai pejabat tersebut dalam bentuk isian formulir yang disediakan.
            Kedua, Pada 1963, melalui Keputusan Presiden No. 275 Tahun 1963, pemerintah menunjuk lagi A.H. Nasution, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan/Kasab, dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo dengan lembaga baru yang lebih dikenal dengan Operasi Budhi. Kali ini dengan tugas yang lebih berat, yakni menyeret pelaku korupsi ke pengadilan dengan sasaran utama perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan praktek korupsi dan kolusi.

Orde Baru
Pada masa awal Orde Baru, melalui pidato kenegaraan pada 16 Agustus 1967, Soeharto terang-terangan mengkritik Orde Lama, yang tidak mampu memberantas korupsi dalam hubungan dengan demokrasi yang terpusat ke istana. Pidato itu seakan memberi harapan besar seiring dengan dibentuknya Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), yang diketuai Jaksa Agung. Namun, ternyata ketidakseriusan TPK mulai dipertanyakan dan berujung pada kebijakan Soeharto untuk menunjuk Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa, seperti Prof Johannes, I.J. Kasimo, Mr Wilopo, dan A. Tjokroaminoto, dengan tugas utama membersihkan Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, Pertamina, dan lain-lain.
Empat tokoh bersih ini jadi tanpa taji ketika hasil temuan atas kasus korupsi di Pertamina, misalnya, sama sekali tidak digubris oleh pemerintah. Lemahnya posisi komite ini pun menjadi alasan utama. Kemudian, ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah Operasi Tertib (Opstib) dengan tugas antara lain juga memberantas korupsi. Perselisihan pendapat mengenai metode pemberantasan korupsi yang bottom up atau top down di kalangan pemberantas korupsi itu sendiri cenderung semakin melemahkan pemberantasan korupsi, sehingga Opstib pun hilang seiring dengan makin menguatnya kedudukan para koruptor di singgasana Orde Baru.
Era Reformasi
Di era reformasi, usaha pemberantasan korupsi dimulai oleh B.J. Habibie dengan mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru, seperti Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), KPPU, atau Lembaga Ombudsman. Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid, membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000. Namun, di tengah semangat menggebu-gebu untuk memberantas korupsi dari anggota tim ini, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan dengan logika membenturkannya ke UU Nomor 31 Tahun 1999. Nasib serupa tapi tak sama dialami oleh KPKPN, dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, tugas KPKPN melebur masuk ke dalam KPK, sehingga KPKPN sendiri hilang dan menguap. Artinya, KPK-lah lembaga pemberantasan korupsi terbaru yang masih eksis.

LSM Atau Ad-Hoc?
Dengan adanya KPK ini, ekspektasi-optimis berlebihan dari masyarakat menjadi harapan tersendiri untuk selesainya kasus korupsi di Negara tercinta ini. Harapan ini menjadi ruh tersendiri bagi KPK dalam aksinya memberantas kasus korupsi di Indonesia. Sejak dibentuknya sampai sekarang sudah banyak kasus yang ditangani oleh KPK dan banyak juga yang sudah selesai.
Akan tetapi, kinerja KPK yang menurut banyak orang adalah baik, menjadi Bomerang bagi lembaga inti Negara lainnya seperti Kepolisian. Masih hangat diingatan kita kasus simulator SIM. Kepolisian dalam hal ini seakan tersudut oleh desakan dan dukungan masyarakat kepada KPK. Kejadian ini semakin memperkeruh hubungan antara KPK dengan lembaga Inti Negara lainnya, padahal seharusnya KPK menjadi partner lembaga inti Negara dalam menyelesaikan kasus korupsi dinegara ini. Sikap KPK yang cenderung menguatkan citra dan bersikap seolah-olah LSM bukan sebagai lembaga pemerintah (adhoc), yang senang mengkritik pemerintah menurut penulis membuat pemberantasan Korupsi dinegara ini menjadi tidak efektif, jika di bandingkan dengan Negara-negara lain.
Terlebih lagi sikap KPK yang cenderung mengambil korupsi-korupsi dalam jumlah kecil dan enggan memberantas yang besar menjadi kritik tersendiri bagi banyak orang. Seharusnya KPK mengambil karupsi-korupsi besar dan berani masuk kedalamnya, artinya yang harus diselesaikan terlebih dahulu adalah kasus besar sehingga kasus kecilpun akan mengikuti. Selajutnya KPK harus memperbaiki hubungan kerjasama dengan Lembaga Inti Negara lainnya seperti Kepolisian dan Kejaksaaan. Semoga dengan kerjasama yang baik tersebut kasus korupsi dinegara ini bisa diberantas dengan efektif, sehingga semua orang menjadi tenang hidup di bangsa yang kita cintai ini. Salam Anti Korupsi.



Referensi:
http://id.wikipedia.org/wiki/Komisi_Pemberantasan_Korupsi diakses pada tanggal 13/11/2012 Pukul 12.07 AM
Gambar: http://www.hariansumutpos.com/2012/10/43114/sebelum-kisruh-kpk-sby-panggil-kapolri diakses pada tanggal 13/11/12 pukul 1.15 AM
               

1 komentar:

  1. Korupsi... korupsi... dan korupsi...
    korupsi gak ada matinya..
    orang yang rajin ibadah, rajin pula korupsinya -_-
    ane setuju dengan discourse yang berkembang dikalangan jamaah haji.
    KORUPTOR di larang NAIK HAJI... ckcckk

    semoga kita terhindar dari segala macam bentuk korupsi
    Aamiin...
    Salam Anti Korupsi, Hentikan Korupsi Sampai Mati!!!

    BalasHapus