Senin, 29 April 2013

Gambaran Umum KAMMI UIN Sunan Kalijaga 2013-2014: Sebuah Tawaran Awal


Oleh: Rifadli Kadir
(Ketua KAMMI Rumpun Darun Najah)

A.   Pendahuluan
Perjalanan 13 Tahun KAMMI UIN Sunan Kalijaga mnjadikan organisasi ini semakin matang dari waktu ke waktu. Eksperimentasi gerakan setiap waktupun selalu berubah sesuai dengan kebutuhan dan keadaan. Belakangan, pada tahu 2011 untuk merespon zaman KAMMI UIN membentuk sistem Rumpun sebagai langkah ijtihadi yang bertujuan menjaga ruh gerakan ini sampai ke akar rumput (grassroad). Akan tetapi berjalannya sistem ini pada berbagai hal perlu dievaluasi dan senantiasa diperbaharui dengan “semangat zaman”.
Pada berbagai kesempatan, tak sedikit para sosiolog menyampaikan bahwa keadan sekarang mulai beralih –dan bahkan pada berbagai hal sudah beralih- dari zaman modern ke pos-modern. Hakikatnya pos-modernisme menjadikan setiap orang memiliki perang penting dalam perubahan sosial. Kalau dulu gerakan mahasiswa menjadi trend setter dalam perubahan sosial, sekarang gerakan itu bak-hilang ditelan zaman. Kebanggaan gerakan 98 tak lagi menjadi refensi utama masyarakat bahkan mahasiswa sebagai “kebanggan” dalam melakukan perubahan sosial.
Pada   sisi yang lain, gerakan mahasiswa tidak lagi menjadi preferensi indidivdu (self preferen) mahasiswa. Mahasiswa seakan menjadi apatis dengan kondisi lingkunganya. Tak ada lagi semangat 98 dulu. Arus globalisasi, menjadikan mahasiswa semakin hedonis dan pragmatis dengan keadaan lingkungannya. Ada sebongkah ketakutan dibenak mahasiswa, alih-alih kuliah menjadi penjamin kehidupan masa depan. Apalagi gerakan mahasiswa dalam persepi mereka tidak berkorelasi signifikan terhadap masa depan mereka (Red: terkait pekerjaan).
Selain itu, terjadi perubahan trend mahasiswa. Yang dulunya mahasiswa itu terkenal dengan kritis ideologis, sekarang itu tidak begitu kental lagi. Mahasiswa sekarang lebih senang dengan hal-hal populis. Apalagi dengan hal yang menyangkut hajat hidup.  Karena itu, saat ini sedang banyak digemari oleh mahasiswa ialah berbagai pelatihan dan seminar kewirausahaan atau enterpreunership.
http://kammi-komisariat-aka.blogspot.com/
Melihat semua hal di atas bagi gerakan mahasiswa pada sisi lain cukup memiriskan hati. Tapi hal ini juga menjadi tantangan bagi gerakan mahasiswa. Sebagai tantangan, gerakan mahasiswa sudah selayaknya mengambil arah dan bentuk gerakan yang lebih kompetibel dengan “semangat zaman”. Akan tetapi bisa jadi hipotesa ini tidak sepenuhnya benar, tapi paling tidak tanda-tanda di atas sudah mulai nampak kuat terpampang didepan mata.
Sebagai bentuk keresahan melihat hal di atas, sebagai kader KAMMI, penulis mencoba ber-ijtihad dan menawarkan suatu bentuk kebijakan gerakan, khususnya KAMMI UIN Sunan Kalijaga di masa satu tahun mendatang. Beberapa hal, berikut ini terkait model pembinaan dan struktur organsasi menjadi dua hal utama yang perlu direvisi ulang. Tapi hal berikut ini masih menjadi tawaran awal, dan akan digali lagi ada waktu mendatang.  

B.   Isi
1.      Model Kaderisasi 2013-2014: Pembinaan
Kaderisasi KAMMI sebagai bentuk piramida yang sudah dituangkan dalam manhaj kaderisasi terdiri dari AB1, AB2 dan AB3 sebagai lulusan dari DM1, DM2, dan DM3. Hal ini menurut penulis tidak usah dirubah lagi, dan memang tidak bisa dirubah karena sudah menjadi turunan kebijakan nasional.
Selain itu, basis bacaan dalam mantuba sebenarnya untuk membentuk pemahaman awal sudah sangat mumpuni. Tapi untuk menaikan gread berpikir kader, dirasa perlu ditambah dengan literatur sesuai local Wisdom. Beberapa kasus kader KAMMI terlihat “gagap” ketika bersentuhan dengan dunia diluarnya. Ke-“gagapan” itu sangat dipengaruhi oleh basis literatur atau bacaan yang kurang mumpuni terkait kelokalan dan kenegaraan.
Model pembinaan yang ingin ditawarka disini ialah, model yang berdasarkan pada spesifikasi ataupun minat kader. Misalnya, ketika ada kader berminat terhadap kewirusahaan, model pembinaan kader pun disesuaikan dengan minat mereka. Materi dan instrumen MKK dan MK Khos dibalut sesuai dengan minat ataupun spesifikasi kader.
Tidak hanya sampai disitu, pengejawantahan model seperti ini harus sampai pada tataran praksis selanjutnya bisa sampai pada hasil fisik. Minat kewirausahaan ataupun lainnya misalnya, hasil fisik pada tataran praksis menghasilkan suatu bentuk wirausaha yang mapan dan berimplikasi pada kekuatan finansial gerakan.
Ataupun minat yang lain pun, gerakan ini harus menyesuaikan. Membentuk lokus-lokus yang memfasilitasi spesifikasi dan minat para kader adalah hal yang paling mudah dilakukan. Dengan lokus-lokus tersebut, para kader dapat dibina dan diarahkan untuk mendapatkan keinginan mereka.

2.      Model Struktur Organisasi
Sesuai dengan kebijakan kepengurusan sebelumnya, sebagai bentuk penjagaan terhadap kader sekaligus ekspansi gerakan ke seluruh masyrakat kampus, KAMMI UIN Sunan Kalijaga mengambil bentuk organisasi yang bertumpu pada kekuatan Rumpun. Selajutnya dibentuk Rumpun Darunnajah dan Darusssalam.
Adanya rumpun ini sangat membantu gerakan ini dalam hal kaderisasi, pejagaan, dan ekspansi gerakan. Tapi tentunya, pada berbagai hal perlu juga dievaluasi dan dikonstruk kembali. Selain itu, rumpun –menurut penulis- rumpun yang mengampu fakultas yang tidak identik menjadikan rumpun sangat sulit dalam berkoordinasi, terlebih dalam hal penentuan sikap atau kebijakan.
 Adapun tawaran bentuk baru dari rumpun KAMMI UIN dan hubungannya dengan struktur organisasi secara keseluruhan dapat dilihat pada gambar berikut (gambar tidak dapat diupload karena dalam bentuk Shap). Adapun penjelasan dari gambar struktur di atas ialah:
1.  Hubungan antara departemen, rumpun dengan ketua adalah garis instruktif. Ketua dapat menginstruksikan langsung terkait kebijakan yang diambil oleh ketua ke seluruh departemen/biro dan rumpun
2. Hubungan Departemen dengan rumpun ialah garis koordinatif. Departemen da rumpun berkoordinasi terkait kebijaka yang telah diabil agar terjadi sinergisitas dalam pencapaian tujuan.
3.     Terjadi perubahan struktur yang sangat mencolok yaitu adanya empat rumpun (masalah nama bisa dipirkan lagi). Rumpun Pedidikan dan Teknologi mengampu fakultas Tarbiyah dan Saintek, rumpun Politik  dan Ekonomi mengampu fakultas Syariah dan FEBI, rumpun Humaniora mengampu fakultas Adab dan Fishum, dan rumpun Pemikiran Islam mengampu fakultas Ushuluddin dan Dakwah.
4.     Tugas setiap rumpun untuk diawal ini diantaranya ialah, pernjagaan kader, kajian strategi, serta penentuan kebijakan terkait fakultas masing-masing.
5.    Selanjutnya pembianaan sesuai spesifikasi kader bisa didistribusi sesuai identitas rumpun. Misalnya pembinaan kader yang minat terhadap pemikiran Islam bisa didistriusi ke Rumpun Pemikiran Islam. Begitupun spesifikasi dan minat lainnya dapat didistribusi ke rumpun yang identik.
Tawaran ini masih  sangat sederhana dan dapat dilengkapi ataupun dapat tidak disetujui oleh seluruh pihak yang berkepentingan dengan gerakan ini dimasa mendatang.

C.   Kesimpulan
Demikian tawaran awal gambaran umum kebijakan KAMMI UIN Sunan Kalijaga dimasa setahun mendatang. Semoga tawaran ini dapat menjadi bahan pertimbangan seluruh kader KAMMI UIN dalam menentukan kebijakan gerakan ini pada tahun mendatang. 

Rabu, 24 April 2013

Revolusi Anti-Pasif KAMMI: Upaya Radikalisasi Pemikiran Kader


Pada beberapa pertemuan ada beberapa kader (berganti orang) selalu mempertanyakan mau kemana KAMMI sekarang? Serasa saya tidak mendapatkan apa-apa di KAMMI.

 Pertanyaan semacam ini banyak hadir di tengah diskusi para kader KAMMI menganjak tahun pertama mereka bergabung degan organisasi menyatukan aksi dan orientasi sebagai muslim ini. ke-‘masygulan’ meratapi nasib bergabung di KAMMI pun ikut mewarnai berbagai frase obrolan para kader ketika berbicara apa yang akan KAMMI lakukan di masa mendatang. Berbagai kader pun tak urung diam menanggapi kondisi seperti ini. Banyak dari para punggawa terlebih di komisariat yang memberikan terapi pada kondisi ini.
thebrewokz.blogspot.com
            Dari terapi yang wajar-wajar saja, sampai pada terapi ekstrim (Baca: “Revolusi”). Terapi biasa-biasa saja dapat dikatakan sangat wajar ditelinga para kader misalnya rihlah bareng, kajian hati (Tazkiyatun Nufus), memperkuat pembinaan, dan lain-lain. Terapi semacam ini pada dasarnya adalah benar dan pada sisi tertentu meningkatkan berbagai hal. Tapi tanpa disadari terapi konservatif semacam ini membuat kebosanan bagi sebagian kader. Selain itu pada beberapa hal tidak menyentuh subtansi masalah.
            Terapi kedua dapat dikatakan cukup ekstrim “Revolusi”. Menurut mereka KAMMI perlu melakukan perbaikan secara revolusioner pada berbagai aspek. Misalnya, hal yang selalu mereka dengungkn ialah basis material dalam kaderisasi KAMMI. Menurut mereka sistem kaderisasi KAMMI pada tempat dan waktu tertentu perlu dikonstruk kembali. Basis material menurut mereka sangat menentukan kualitas kader. Kesalahan dalam menetukan basis material pada waktu dan tempat yang berbeda-beda pada banyak kasus memprlambat berjalannya kaderisasi KAMMI.
            Kehendak melakukan “revolusi” menguat dalam diri setiap mereka yang gundah melihat kondisi kelemahan KAMMI pada berbagai hal. Tapi kelompok ini pun perlu dikaji kembali apa basis material yang mereka gunakan sebagai bahan revolusi. Basis material menjadi penting sebagai panduan sebagaimana dalam pandangan Foucault bahwa wacana wacana tidaklah cukup untuk melakukan perbaikan jika tidak dilandasi basis material yang jelas.

Revolusi KAMMI?
            Revolusi sebagai bahan terapis di KAMMI, sebenarnya bukanlah hal yang mudah dilakukan. Revolusi membutuhkan kemantangan konsep sehingga menghasilkan daya letupan yang kuat. Walaupun begitu revolusi bukanlah hal sulit untuk dilakukan. Tapi menjadi penting untu diawal menentukan model revolusi seperti apa yang hendak diambil.
            Paling tidak ada dua model Revolusi menurut Gramsci yang dapat dijadikan model. Model berikut ini merupakan analisis Gramsci terhadap Revolusi Prancis dan Risorgimento Italia. Dalam Revolusi Perancis, Jacobin dapat memobilisir rakyat untuk melaukan perjuangan revolusioner dengan cara mendukung tuntutan kaum tani dan membangun aliansi dengan mereka.
            Sebaliknya, penyatuan Italia dan naiknya kaum borjuis Italia ke tampuk kekuasaan dalam Risorgimento dilakukan oleh Cavour dan Partai Moderat dengan cara yang sangat berbeda, yaitu tidak langsung mengikutsertakan perjuangan rakyat; saran utama mereka adalah negara Piedmont dengan tentara, kerajaan dan birokrasinya (Roger Simon, 2004: 63).
            Dalam melakukan analisis terhadap Risorgimento Gramsci memberikan gambaran bahwa dalam keseluruhan karakternya, Risorgimento adalah revolusi pasif yang tidak mempunyai kualitas nasional kerakyatan, Gramsci membuat kesimpulan (SPN 90): para pemimpin Risorgimento “bermaksud menciptakan negara modern di Italia dan pada kenyataannya hanya melahirkan anak haram”. Mereka tidak berhasil dalam mendorong terbentuknya kelas penguasa yang luas dan bersemangant menyatukan rakyat dalam wadah negara baru.
thebrewokz.blogspot.com
            Model revolusi pasif semacam itu merupakan bentuk revolusi manakala reformasi-reformasi yang mendasar dalam struktur ekonomi dilakukan dari atas, melalui agen negara. Karena itulah Gramsci menyatakan bahwa Revolusi pasif merupakan respon khas terhadap krisis organic. Revolusi pasif terjadi ketika perubahan-perubahan yang berskala luas dalam struktur ekonomi negara dilakukan dari atas, melalui wakil aparat negara, tanpa melibatkan peran aktif rakyat.
            Akan tetapi, menurut Gramsci konsep revolusi pasif dapat diperluas sehingga mencakup revolusi sosialis disamping revolusi borjuis. Dalam transisi ini, strategi kelas pekerja harus mempunyai karakter revolusi anti-pasif (anti-passive revolution), yang dibangun dengan memperluas perjuangan kelas dan perjuangan demokrasi kerakyatan dengan tujuan memobilisasi laipisan masyarakat yang lebih luas dalam memperjuangkan reformasi demokrasi. Untuk mengembangkan strategi anti-pasif ini, menurut Gramsci diperlukan analisis yang lebih mendalam terhadap masyarakat sipil, wilayah perjuangan kelas dan demokrasi-kerakyatan.
            Dua model revolusi di atas sangat mencolok perbedaannya. Pertama Revolusi Prancis yang melakukan revolusinya berdasarkan partisipasi masyarakat secara kelseluruhan yang selanjutnya dilabeli oleh Gramsci dengan Revolusi anti-pasif, sedangkan kedua Revolusi Risorgimento yang tidak mengikutsertakan masyarakat secara keseluruhan, dan lebih mengambil jalur intervensi kekuasaan atau dikenal dengan Revolusi Pasif.
Dari dual model Revolusi tersebut, memang tidak kompetibel ketika menjadikan hal tersebut sebagai model Revolusi KAMMI. Karena secara struktural, KAMMI bukanlah negara yang menjadi pengejawantahan Revolusi tersebut. Akan tetapi, nilai ataupun semangat kedua ataupun salah satu Revolusi tersebut dapat dijadikan semangat yang kemudian dijadikan model pada saat ini.
 Lalu model mana yang mungkin pada saat ini baik untuk KAMMI?. Secara umum model perbaikan atau dapat dikatakan “Revolusi” yang terjadi di KAMMI pada banyak hal terjadi karena intervensi struktur kekuasaan KAMMI atau bahkan struktur di luar kekuasaan KAMMI. Hal ini, jika meminjam istilah Gramsci dapat dikatakan sebagai Revolusi Pasiif. Perbaikan semacam ini pada beberapa hal baik untuk melakukan pengaturan, walaupun pada sisi yang lain tidak sesuai dengan apa yang diinginkan Grassroad.
Perlu adanya perbaikan dengan melibatkan semua elemen kader KAMMI (Basis Operasional sampai ideolog) secara bersamaan pada forum bersama dan menyepakati pilihan kebijakan gerakan yang akan dimainkan sebagai manifestasi perbaikan. Dengan partisipasi semua elemen kader, harapannya menjadikan gerakan ini sesuai dengan “semangat zaman” saat ini.
 
Buat Apa “Revolusi”?
            Lalu pertanyaannya kemudian, buat apa “Revolusi” ditubuh KAMMI? Bukankah KAMMI setiap pergantian kepengurusan melakukan perbaikan? Lalu Revolusi seperti apa yang diharapkan?. Revolusi yang ditawarkan seharusnya tidak hanya merubah struktur atau arah gerak KAMMI dimasa mendatang. Tetapi lebih jauh dari itu, Revolusi haruslah merubah secara Radikal Pemikiran setiap kader.
            Revolusi pun menghendaki perubahan sarana, cara pandang, serta setiap apapun dari KAMMI yang menghendaki ke-jumud-an. Progresivitas hasil Revolusi pada saatnya nanti terlihat dari perubahan secara Radikal pemikiran setiap kader sesuai dengan latar belakang keagaamaan, pendidikan, dan profesi. Perubahan radikal pada pemikiran kader sebenarnya berpengaruh pula pada seberapa jauh daya gebrak gerakan ke wilayah publik.
            Pada sisi yang lain pula, progresivitas hasil revolusi ini, tidak perlu dicurigai sebagai gerakan “anti kekuasaan”. Tidak seperti gerakan Sosial Gramscian, KAMMI hanya mengambil semangat bahwa perbaikan itu harus dimulai dari akar rumput (Grassroad), karena perbaikan yang selalu dating dari hasil intervensi kekuasaan pada saat ini di KAMMI terkadang kurang sesuai dengan “semangat zaman”.

Selasa, 23 April 2013

Pendekatan Budaya Harus Tepat Sasaran



Oleh: Rifadli D. Kadir
(KAMMI UIN Sunan Kalijaa)


Menyusul adanya kasus Hugos Café dan Cebongan, premanisme kembali marak terjadi dan menjadi buah bibir masyarakat. Setelah dua peristiwa itu terjadi banyak masyarakat di Yogyakarta yang takut kalau-kalau nantinya bermasalah dengan preman. Karena itu langkah prepentif pun segera diambil oleh Kepolisian dan Lembaga Penegak Hukum lainnya.
            Dalam mengatasi premanisme di Yogyakarta, Kapolda DIY, Brigjen Pol Haka Astana M. Widya pada awal jabatannya berniat membidik preman dengan Pendekatan Budaya. Dengan pendekatan ini akan banyak hal yang akan dilakukan. Salah satu langkah konkret ialah melakukan seminar dan motivasi atau pemahaman kepada masyarakat yang rentan terjangkit premanisme. Selain itu hal lain yang akan dilakukan ialah mengarahkan dan mengurangi niat jahat dan mendekati atau mengajak preman tersebut.
            Langkah yang akan ditempuh oleh Kepolisian ini patut diapresiasi dan didukung penuh oleh semua elemen masyarakat Yogyakarta. Akan tetapi, perlu juga kontrol langsung dari semua elemen agar langkah yang diambil ini tepat sasaran. Tepat sasaran dalam artian memang menyentuh permasalahan langsung berdasarakan apa sebenarnya motiv atau yang melatarbelakangi premanisme yang marak terjadi. 

Motiv Premanisme
            Menurut hemat penulis ada dua motiv yang sering melatarbelakangi kenapa premanisme sering terjadi. Pertama, karena motiv Ekonomi. Kedua, karena motiv kurangnya Kontrol Sosial (Social Control) masyarakat. Kedua motiv ini menjadi dua hal yang sebenarnya tidak berhubungan, tetapi sewaktu-waktu motiv seseorang mekalukan premanisme bisa jadi karena kedua hal ini.
            Pertama, motiv Ekonomi. Dalam banyak kasus premanisme terjadi karena tidak terpenuhinya hak-hak ekonomi masyarakat, terutama masyarakat yang berpendidikan rendah dan cenderung mengambil jalan pintas dalam mencari penghasilan. Betapa banyak kasus premanisme berupa penjambretan sampai pada pembunuhan karena karena motiv ini.
            Motiv kedua yaitu karena kurangnya Kontrol Sosial masyarakat. Mulai hilangnya ikatan sosial di masyarakat menjadi penyebab utama motiv ini. Yogyakarta yang terkenal dengan banyaknya pendatang dari berbagai daerah dengan berbagai profesi, belakangan mulai kehilangan ikatan sosial. Padahal dalam tradisi kebudayaan Yogyakarta ikatan sosial sangat dijunjung tinggi.
            Sebagai contoh hilangnya Kontrol Sosial ditengah masyarakat. Suatu penulis pernah menemui sekelompok orang yang duduk dipojokan gang yang ternyata sedang mengkonsumsi minuman beralkohol. Bagi sebagian masyarakat sekitar tempat itu, hal semacam ini sangat meresahkan. Tapi, upaya untuk mencegah hal semacam ini agar tidak terjadi lagi masih sangat kurang. Mungkin disebabkan juga karena ketakutan masyarakat untuk tidak berkonflik. Dalam hemat penulis hal semacam ini merupakan embrio lahirnya premanisme baru di tengah masyarakat.
            Hilangnya Kontrol Sosial, seperti saling mengingatkan antar masyarakat, kurangnya gotong royong, ewuh pakewuh ketika melakukan tindakan yang bertentangan dengan norma sosial, saling silaturahmi antar masyarakat, harus diantisipasi. Pemerintah Yogyakarta dapat menjadi pelopor program penguatan kontrol sosial masyarakat dengan elaborasi yang tentunya juga tidak menghilangkan kebebasan masyarakat dalam berekspresi.
            Pendekatan Budaya yang akan diambil oleh Kapolda DIY, sebaiknya juga memperhatikan motiv-motiv apa yang melatarbelakangi terjadinya tindak premanisme di tengah masyarakat. Pencegahan premanisme dengan menyamaratakan motiv terjadinya premanisme berakibat pada tidak tepat sasarannya langkah ini. Karena itu, niatan baik ini akan sia-sia jika tidak menyelesaikan permasalah premanisme sampai pada akar masalahnya, yaitu motiv apa yang melatarbelakangi.
            Pada motiv ekonomi, misalnya, cara penanggulangannya berbeda dengan motiv karena hilangnya kontrol sosial. Motiv ekonomi cara penyelesainnya ialah dengan pendekatan budaya yang berkaitan dengan pemenuhan hak-hak ekonomi. Misalnya, Kapolda bersama Pemerintah DIY yang mengurusi masalah ekonomi  dapat membuka lapangan pekerjaan kepada para preman berdasarkan komunitas prema itu sendiri. Tetapi untuk mengontol agar program ini berjalan baik, pihak Polda dan Pemerintah DIY harus mengawal dan mengontrol langsung program ini.
            Lebih lanjut Kapolda DIY dapat juga bekerjasama dengan semua elemen, seperti Mahasiswa, LSM dan elemen lainnya, untuk ikut sama-sama mencegah premanisme sejak dini. Hal kecil yang dapat dilakukan segera ialah menghidupkan lagi Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (KAMTIBMAS) disetiap RT/RW. Semoga dengan begitu Pendekatan Budaya untuk menyelesaikan masalah premanisme bisa tepat sasaran. Semoga.
 

Senin, 15 April 2013

Rethinking KAMMI: Upaya Penyatuan Struktural dan Kultural


kammikultural.org
Hans Kung dalam tesisnya Global Ethic menolak pandangan yang menurut dia “sinisme” Hutington terhadap masa depan agama-agama. Hutington yang menempatkan agama sebagai objek vis a vis dimasa mendatang dibantah habis oleh Hans Kung dalam bukungnya A Global Ethics for Global Politics and Economic. Menurut Kung, agama-agama tidak selamanya harus ditempatkan dalam posisi selalu berhadap-hadapan.
             Sebagai seorang teolog kristiani, Kung melihat, agama-agama dapat disatukan untuk mencapai perdamaian global. Lebih lanjut dalam bukunya, Kung menyebutkan beberapa etika global. Diatara hal menarik dan sejalan dengan nafas Islam ialah “bahwa setiap manusia harus diperlakukan secara manusiawi” kemudian prinsip ini diperluas menjadi: “setiap manusia –tanpa membedakan jenis kelamin, usia, ras, warna kulit, bahasa, agama, pandangan politik, dan asal usul nasional atau sosial- memiliki martabat dan kehormatan setara”.
             Kemudian Kung member penegasan, dengan demikian setiap orang di dunia baik secara individual maupun kenegaraan, wajib menghormati martabat ini dan menjamin perlindungan efektif atasnya. Manusia harus selalu menjadi subjek setiap hak, harus menjadi tujuan tidak boleh dijadikan alat semata, tidak boleh dijadikan sebagai objek komersialisasi dan industrialisasi ekonomi, politik, dan media demi kepentingan riset lembaga maupun industri (Hans Kung: 1997: xv).
             Global ethic yang diutarakan Kung menarik untuk dicerna ulang sebagai proses ejawantah sikap dalam kehidupan bersosial dan berorganisasi. Penataan sistem sosial, politik, dan ekonomi sejalan yang dicita-citakan Kung menjadi menarik jika itu tidak diresonansikan dalam kehidupan beragama saja, tetapi juga dalam setiap aktivitas individu dan organisasi.

Etika KAMMI
            Secara organisasional KAMMI tentunya memiliki etika-etika yang digali dari prinsip-prinsip, paradigma, serta visi organisasi. Hasil galian itu –menurut penulis- dapat dijadikan sebagai etika dasar setiap kader. Saat ini banyak kemudian keluhan dari berbagai kalangan yang ikut berjuangan bersama KAMMI, mulai merasakan titik kejenuhan dalam diri. 
             KAMMI serasa tak memberi makna berarti dalam sublimasi dan katalisasi penigkatan kapasistas diri. Alih-alih KAMMI meng-katalisasi setiap kadernya untuk tumbuh berkembang, yang terjadi malahan menurut pengakuan sebagian kader, KAMMI menghambat mereka untuk tumbuh dan berkembang dalam ruang publik yang lebih luas. KAMMI memobilisir kader untuk terus bekerja pada sisi yang lain, hal itu tidak dibarengi dengan up-grade kapasitas intelektual dan spiritual kader. Akhirnya yang ada hanyalah segudang pertanyaan, lantas setelah ini kita (kader) mau apa?
              Pada persoalan lain, sebagian elit organisasi tidak menampakkan diri sebagai pemegang kunci yang patut dicontoh. Sebagian elit dalam sisi yang lain menjadi “pentitah dari langit” yang pada saat-saat tertentu dapat mengintervensi organisasi tanpa mendiskusikan terlebih dahulu. Perihal semacam ini, bagi perkembang organisasi tidak begitu baik. KAMMI dan kader-kadernya tumbuh seakan seperti pohon Bonsai “jika tumbuh sedikit dipotong oleh tuannya”.
             Etika KAMMI sebenarnya adalah nilai-nilai yang ingin diperjuangkan oleh KAMMI itu sendiri. Nilai-nilai ini seharusnya terinternalisasi dalam diri seorang kader KAMMI sejak memasuki pintu depan rumah KAMMI. Semakin seorang kader itu masuk, maka seharusnya ia semakin mengerti dan melaksanakan apa sebenarnya nilai-nilai yang diinginkan KAMMI.
             Etika KAMMI menjadi pegangan kultural seorang kader KAMMI ketika ia berada dimana saja. Dalam konteks ruang dan waktu yang berbeda sekalipun, etika ini harus senantiasa dijaga dan setiap kader harusnya senantiasa berjalan sejalan kehendak etika itu. Terlebih lagi ketika paska seorang kader itu menjadi alumni dan mulai memasuki dunia profesional, etika ini tetap senantiasa dijaga dan disebarkan.

Kultural: Penjaga etika?
            Tumbuh berkembangnya organisasi tidak lepas dari ideologi, struktur dan kultural. Ideologi menjadi basis nilai yang melahirkan etika. Struktur sebagai medium pengejawantahan ide, dan kultural sebagai proses penggemblengan ide itu sendiri agar tetap matang dan sesuai zamannya. Kehilangan ketiga hal ini bukan tidak mungkin, berakibat patal dalam bagi perkembangan ornganisasi.
kammi-komisariat-aka.blogspot.com
             Pada banyak kenyataan, KAMMI dalam hal ini, meninggalkan Kultural-nya. Keterjebakan kerja mekanis layaknya mesin membuat daya luapan organisasi ini menjadi tidak berdaya dobrak yang tinggi. Penggalian ide-ide sebagai penyegaran organisasi dan gerakan, tergantikan dengan kerja-kerja rutinitas yang melelahkan. 
            Tidak berarti kemudian hal ini difahami sebagai tawaran untuk meninggalkan kerja-kerja dalam struktur ornganisasi. Penempatan ketiga hal: ideologi, struktur, dan kultural pada posisi yang proporsional menjadi tawaran yang semestinya layak untuk selalu dikuatkan. Gerakan kultural kader, semestinya tidak dilabeli sebagai gerakan “makar”.
  Struktural sebagai medium yang dapat menguasa, mengatur serta mengejawantahkan ide, dapat menjadikan gerakan kultural ini sebagai dapur penggodokkan ide-ide yang akan dijadikan kebijakan organisasi dan gerakan dimasa mendatang. Pada sisi lain, gerakan kultural menjadi penjaga terakhir yang siap untuk menginternalisasi etika kedalam setiap diri kader.
             Sebgaimana halnya Kung dengan etika globalnya yang menempatkan setiap manusia sama derajatnya dan menjadi subjek setiap hak. Komersialisasi, penggunaan kader sebagai alat semata, dan sebagai objek yang mendatangkan komersi, kader harus dijauhakan dari hal demkian. Dengan begitu gerakan kultural dapat dijadikan sebagai upaya untuk menjaga etika nilai dalam setiap diri kader.
             Proporsional dalam memandang Struktural dan Kultural penting agar semua kader KAMMI tidak terjebak pada “sinisme”. Menganggap bahwa struktural itu benar sepenuhnya ternyata juga tidak menjadikan adil setiap kader dalam menilai. Sebaliknya, meyakini sepenuhnya gerakan kultural paling benar juga tidak proporsional. Karena itu, perlu ada penyatuan kembali antara gerakan oleh Struktural dan Kultural.