Selasa, 23 April 2013

Pendekatan Budaya Harus Tepat Sasaran



Oleh: Rifadli D. Kadir
(KAMMI UIN Sunan Kalijaa)


Menyusul adanya kasus Hugos Café dan Cebongan, premanisme kembali marak terjadi dan menjadi buah bibir masyarakat. Setelah dua peristiwa itu terjadi banyak masyarakat di Yogyakarta yang takut kalau-kalau nantinya bermasalah dengan preman. Karena itu langkah prepentif pun segera diambil oleh Kepolisian dan Lembaga Penegak Hukum lainnya.
            Dalam mengatasi premanisme di Yogyakarta, Kapolda DIY, Brigjen Pol Haka Astana M. Widya pada awal jabatannya berniat membidik preman dengan Pendekatan Budaya. Dengan pendekatan ini akan banyak hal yang akan dilakukan. Salah satu langkah konkret ialah melakukan seminar dan motivasi atau pemahaman kepada masyarakat yang rentan terjangkit premanisme. Selain itu hal lain yang akan dilakukan ialah mengarahkan dan mengurangi niat jahat dan mendekati atau mengajak preman tersebut.
            Langkah yang akan ditempuh oleh Kepolisian ini patut diapresiasi dan didukung penuh oleh semua elemen masyarakat Yogyakarta. Akan tetapi, perlu juga kontrol langsung dari semua elemen agar langkah yang diambil ini tepat sasaran. Tepat sasaran dalam artian memang menyentuh permasalahan langsung berdasarakan apa sebenarnya motiv atau yang melatarbelakangi premanisme yang marak terjadi. 

Motiv Premanisme
            Menurut hemat penulis ada dua motiv yang sering melatarbelakangi kenapa premanisme sering terjadi. Pertama, karena motiv Ekonomi. Kedua, karena motiv kurangnya Kontrol Sosial (Social Control) masyarakat. Kedua motiv ini menjadi dua hal yang sebenarnya tidak berhubungan, tetapi sewaktu-waktu motiv seseorang mekalukan premanisme bisa jadi karena kedua hal ini.
            Pertama, motiv Ekonomi. Dalam banyak kasus premanisme terjadi karena tidak terpenuhinya hak-hak ekonomi masyarakat, terutama masyarakat yang berpendidikan rendah dan cenderung mengambil jalan pintas dalam mencari penghasilan. Betapa banyak kasus premanisme berupa penjambretan sampai pada pembunuhan karena karena motiv ini.
            Motiv kedua yaitu karena kurangnya Kontrol Sosial masyarakat. Mulai hilangnya ikatan sosial di masyarakat menjadi penyebab utama motiv ini. Yogyakarta yang terkenal dengan banyaknya pendatang dari berbagai daerah dengan berbagai profesi, belakangan mulai kehilangan ikatan sosial. Padahal dalam tradisi kebudayaan Yogyakarta ikatan sosial sangat dijunjung tinggi.
            Sebagai contoh hilangnya Kontrol Sosial ditengah masyarakat. Suatu penulis pernah menemui sekelompok orang yang duduk dipojokan gang yang ternyata sedang mengkonsumsi minuman beralkohol. Bagi sebagian masyarakat sekitar tempat itu, hal semacam ini sangat meresahkan. Tapi, upaya untuk mencegah hal semacam ini agar tidak terjadi lagi masih sangat kurang. Mungkin disebabkan juga karena ketakutan masyarakat untuk tidak berkonflik. Dalam hemat penulis hal semacam ini merupakan embrio lahirnya premanisme baru di tengah masyarakat.
            Hilangnya Kontrol Sosial, seperti saling mengingatkan antar masyarakat, kurangnya gotong royong, ewuh pakewuh ketika melakukan tindakan yang bertentangan dengan norma sosial, saling silaturahmi antar masyarakat, harus diantisipasi. Pemerintah Yogyakarta dapat menjadi pelopor program penguatan kontrol sosial masyarakat dengan elaborasi yang tentunya juga tidak menghilangkan kebebasan masyarakat dalam berekspresi.
            Pendekatan Budaya yang akan diambil oleh Kapolda DIY, sebaiknya juga memperhatikan motiv-motiv apa yang melatarbelakangi terjadinya tindak premanisme di tengah masyarakat. Pencegahan premanisme dengan menyamaratakan motiv terjadinya premanisme berakibat pada tidak tepat sasarannya langkah ini. Karena itu, niatan baik ini akan sia-sia jika tidak menyelesaikan permasalah premanisme sampai pada akar masalahnya, yaitu motiv apa yang melatarbelakangi.
            Pada motiv ekonomi, misalnya, cara penanggulangannya berbeda dengan motiv karena hilangnya kontrol sosial. Motiv ekonomi cara penyelesainnya ialah dengan pendekatan budaya yang berkaitan dengan pemenuhan hak-hak ekonomi. Misalnya, Kapolda bersama Pemerintah DIY yang mengurusi masalah ekonomi  dapat membuka lapangan pekerjaan kepada para preman berdasarkan komunitas prema itu sendiri. Tetapi untuk mengontol agar program ini berjalan baik, pihak Polda dan Pemerintah DIY harus mengawal dan mengontrol langsung program ini.
            Lebih lanjut Kapolda DIY dapat juga bekerjasama dengan semua elemen, seperti Mahasiswa, LSM dan elemen lainnya, untuk ikut sama-sama mencegah premanisme sejak dini. Hal kecil yang dapat dilakukan segera ialah menghidupkan lagi Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (KAMTIBMAS) disetiap RT/RW. Semoga dengan begitu Pendekatan Budaya untuk menyelesaikan masalah premanisme bisa tepat sasaran. Semoga.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar