Senin, 15 April 2013

Rethinking KAMMI: Upaya Penyatuan Struktural dan Kultural


kammikultural.org
Hans Kung dalam tesisnya Global Ethic menolak pandangan yang menurut dia “sinisme” Hutington terhadap masa depan agama-agama. Hutington yang menempatkan agama sebagai objek vis a vis dimasa mendatang dibantah habis oleh Hans Kung dalam bukungnya A Global Ethics for Global Politics and Economic. Menurut Kung, agama-agama tidak selamanya harus ditempatkan dalam posisi selalu berhadap-hadapan.
             Sebagai seorang teolog kristiani, Kung melihat, agama-agama dapat disatukan untuk mencapai perdamaian global. Lebih lanjut dalam bukunya, Kung menyebutkan beberapa etika global. Diatara hal menarik dan sejalan dengan nafas Islam ialah “bahwa setiap manusia harus diperlakukan secara manusiawi” kemudian prinsip ini diperluas menjadi: “setiap manusia –tanpa membedakan jenis kelamin, usia, ras, warna kulit, bahasa, agama, pandangan politik, dan asal usul nasional atau sosial- memiliki martabat dan kehormatan setara”.
             Kemudian Kung member penegasan, dengan demikian setiap orang di dunia baik secara individual maupun kenegaraan, wajib menghormati martabat ini dan menjamin perlindungan efektif atasnya. Manusia harus selalu menjadi subjek setiap hak, harus menjadi tujuan tidak boleh dijadikan alat semata, tidak boleh dijadikan sebagai objek komersialisasi dan industrialisasi ekonomi, politik, dan media demi kepentingan riset lembaga maupun industri (Hans Kung: 1997: xv).
             Global ethic yang diutarakan Kung menarik untuk dicerna ulang sebagai proses ejawantah sikap dalam kehidupan bersosial dan berorganisasi. Penataan sistem sosial, politik, dan ekonomi sejalan yang dicita-citakan Kung menjadi menarik jika itu tidak diresonansikan dalam kehidupan beragama saja, tetapi juga dalam setiap aktivitas individu dan organisasi.

Etika KAMMI
            Secara organisasional KAMMI tentunya memiliki etika-etika yang digali dari prinsip-prinsip, paradigma, serta visi organisasi. Hasil galian itu –menurut penulis- dapat dijadikan sebagai etika dasar setiap kader. Saat ini banyak kemudian keluhan dari berbagai kalangan yang ikut berjuangan bersama KAMMI, mulai merasakan titik kejenuhan dalam diri. 
             KAMMI serasa tak memberi makna berarti dalam sublimasi dan katalisasi penigkatan kapasistas diri. Alih-alih KAMMI meng-katalisasi setiap kadernya untuk tumbuh berkembang, yang terjadi malahan menurut pengakuan sebagian kader, KAMMI menghambat mereka untuk tumbuh dan berkembang dalam ruang publik yang lebih luas. KAMMI memobilisir kader untuk terus bekerja pada sisi yang lain, hal itu tidak dibarengi dengan up-grade kapasitas intelektual dan spiritual kader. Akhirnya yang ada hanyalah segudang pertanyaan, lantas setelah ini kita (kader) mau apa?
              Pada persoalan lain, sebagian elit organisasi tidak menampakkan diri sebagai pemegang kunci yang patut dicontoh. Sebagian elit dalam sisi yang lain menjadi “pentitah dari langit” yang pada saat-saat tertentu dapat mengintervensi organisasi tanpa mendiskusikan terlebih dahulu. Perihal semacam ini, bagi perkembang organisasi tidak begitu baik. KAMMI dan kader-kadernya tumbuh seakan seperti pohon Bonsai “jika tumbuh sedikit dipotong oleh tuannya”.
             Etika KAMMI sebenarnya adalah nilai-nilai yang ingin diperjuangkan oleh KAMMI itu sendiri. Nilai-nilai ini seharusnya terinternalisasi dalam diri seorang kader KAMMI sejak memasuki pintu depan rumah KAMMI. Semakin seorang kader itu masuk, maka seharusnya ia semakin mengerti dan melaksanakan apa sebenarnya nilai-nilai yang diinginkan KAMMI.
             Etika KAMMI menjadi pegangan kultural seorang kader KAMMI ketika ia berada dimana saja. Dalam konteks ruang dan waktu yang berbeda sekalipun, etika ini harus senantiasa dijaga dan setiap kader harusnya senantiasa berjalan sejalan kehendak etika itu. Terlebih lagi ketika paska seorang kader itu menjadi alumni dan mulai memasuki dunia profesional, etika ini tetap senantiasa dijaga dan disebarkan.

Kultural: Penjaga etika?
            Tumbuh berkembangnya organisasi tidak lepas dari ideologi, struktur dan kultural. Ideologi menjadi basis nilai yang melahirkan etika. Struktur sebagai medium pengejawantahan ide, dan kultural sebagai proses penggemblengan ide itu sendiri agar tetap matang dan sesuai zamannya. Kehilangan ketiga hal ini bukan tidak mungkin, berakibat patal dalam bagi perkembangan ornganisasi.
kammi-komisariat-aka.blogspot.com
             Pada banyak kenyataan, KAMMI dalam hal ini, meninggalkan Kultural-nya. Keterjebakan kerja mekanis layaknya mesin membuat daya luapan organisasi ini menjadi tidak berdaya dobrak yang tinggi. Penggalian ide-ide sebagai penyegaran organisasi dan gerakan, tergantikan dengan kerja-kerja rutinitas yang melelahkan. 
            Tidak berarti kemudian hal ini difahami sebagai tawaran untuk meninggalkan kerja-kerja dalam struktur ornganisasi. Penempatan ketiga hal: ideologi, struktur, dan kultural pada posisi yang proporsional menjadi tawaran yang semestinya layak untuk selalu dikuatkan. Gerakan kultural kader, semestinya tidak dilabeli sebagai gerakan “makar”.
  Struktural sebagai medium yang dapat menguasa, mengatur serta mengejawantahkan ide, dapat menjadikan gerakan kultural ini sebagai dapur penggodokkan ide-ide yang akan dijadikan kebijakan organisasi dan gerakan dimasa mendatang. Pada sisi lain, gerakan kultural menjadi penjaga terakhir yang siap untuk menginternalisasi etika kedalam setiap diri kader.
             Sebgaimana halnya Kung dengan etika globalnya yang menempatkan setiap manusia sama derajatnya dan menjadi subjek setiap hak. Komersialisasi, penggunaan kader sebagai alat semata, dan sebagai objek yang mendatangkan komersi, kader harus dijauhakan dari hal demkian. Dengan begitu gerakan kultural dapat dijadikan sebagai upaya untuk menjaga etika nilai dalam setiap diri kader.
             Proporsional dalam memandang Struktural dan Kultural penting agar semua kader KAMMI tidak terjebak pada “sinisme”. Menganggap bahwa struktural itu benar sepenuhnya ternyata juga tidak menjadikan adil setiap kader dalam menilai. Sebaliknya, meyakini sepenuhnya gerakan kultural paling benar juga tidak proporsional. Karena itu, perlu ada penyatuan kembali antara gerakan oleh Struktural dan Kultural.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar