kammikultural.org |
Hans Kung dalam tesisnya Global Ethic menolak pandangan yang
menurut dia “sinisme” Hutington terhadap masa depan agama-agama. Hutington yang
menempatkan agama sebagai objek vis a vis
dimasa mendatang dibantah habis oleh Hans Kung dalam bukungnya A Global Ethics for Global Politics and
Economic. Menurut Kung, agama-agama tidak selamanya harus ditempatkan dalam
posisi selalu berhadap-hadapan.
Sebagai
seorang teolog kristiani, Kung melihat, agama-agama dapat disatukan untuk
mencapai perdamaian global. Lebih lanjut dalam bukunya, Kung menyebutkan
beberapa etika global. Diatara hal menarik dan sejalan dengan nafas Islam ialah
“bahwa setiap manusia harus diperlakukan secara manusiawi” kemudian prinsip ini
diperluas menjadi: “setiap manusia –tanpa membedakan jenis kelamin, usia, ras,
warna kulit, bahasa, agama, pandangan politik, dan asal usul nasional atau
sosial- memiliki martabat dan kehormatan setara”.
Kemudian
Kung member penegasan, dengan demikian setiap orang di dunia baik secara
individual maupun kenegaraan, wajib menghormati martabat ini dan menjamin
perlindungan efektif atasnya. Manusia harus selalu menjadi subjek setiap hak,
harus menjadi tujuan tidak boleh dijadikan alat semata, tidak boleh dijadikan
sebagai objek komersialisasi dan industrialisasi ekonomi, politik, dan media
demi kepentingan riset lembaga maupun industri (Hans Kung: 1997: xv).
Global ethic yang diutarakan Kung
menarik untuk dicerna ulang sebagai proses ejawantah
sikap dalam kehidupan bersosial dan berorganisasi. Penataan sistem sosial,
politik, dan ekonomi sejalan yang dicita-citakan Kung menjadi menarik jika itu
tidak diresonansikan dalam kehidupan beragama saja, tetapi juga dalam setiap
aktivitas individu dan organisasi.
Etika KAMMI
Secara organisasional KAMMI tentunya
memiliki etika-etika yang digali dari prinsip-prinsip, paradigma, serta visi organisasi.
Hasil galian itu –menurut penulis- dapat dijadikan sebagai etika dasar setiap
kader. Saat ini banyak kemudian keluhan dari berbagai kalangan yang ikut
berjuangan bersama KAMMI, mulai merasakan titik kejenuhan dalam diri.
KAMMI
serasa tak memberi makna berarti dalam sublimasi dan katalisasi penigkatan
kapasistas diri. Alih-alih KAMMI meng-katalisasi setiap kadernya untuk tumbuh
berkembang, yang terjadi malahan menurut pengakuan sebagian kader, KAMMI
menghambat mereka untuk tumbuh dan berkembang dalam ruang publik yang lebih
luas. KAMMI memobilisir kader untuk terus bekerja pada sisi yang lain, hal itu
tidak dibarengi dengan up-grade
kapasitas intelektual dan spiritual kader. Akhirnya yang ada hanyalah segudang
pertanyaan, lantas setelah ini kita (kader) mau apa?
Pada persoalan lain, sebagian elit organisasi
tidak menampakkan diri sebagai pemegang kunci yang patut dicontoh. Sebagian
elit dalam sisi yang lain menjadi “pentitah dari langit” yang pada saat-saat
tertentu dapat mengintervensi organisasi tanpa mendiskusikan terlebih dahulu.
Perihal semacam ini, bagi perkembang organisasi tidak begitu baik. KAMMI dan
kader-kadernya tumbuh seakan seperti pohon Bonsai “jika tumbuh sedikit dipotong
oleh tuannya”.
Etika
KAMMI sebenarnya adalah nilai-nilai yang ingin diperjuangkan oleh KAMMI itu
sendiri. Nilai-nilai ini seharusnya terinternalisasi dalam diri seorang kader
KAMMI sejak memasuki pintu depan rumah KAMMI. Semakin seorang kader itu masuk,
maka seharusnya ia semakin mengerti dan melaksanakan apa sebenarnya nilai-nilai
yang diinginkan KAMMI.
Etika
KAMMI menjadi pegangan kultural seorang kader KAMMI ketika ia berada dimana saja.
Dalam konteks ruang dan waktu yang berbeda sekalipun, etika ini harus
senantiasa dijaga dan setiap kader harusnya senantiasa berjalan sejalan
kehendak etika itu. Terlebih lagi ketika paska seorang kader itu menjadi alumni
dan mulai memasuki dunia profesional, etika ini tetap senantiasa dijaga dan
disebarkan.
Kultural: Penjaga etika?
Tumbuh berkembangnya organisasi tidak
lepas dari ideologi, struktur dan kultural. Ideologi menjadi basis nilai yang
melahirkan etika. Struktur sebagai medium pengejawantahan ide, dan kultural
sebagai proses penggemblengan ide itu sendiri agar tetap matang dan sesuai
zamannya. Kehilangan ketiga hal ini bukan tidak mungkin, berakibat patal dalam
bagi perkembangan ornganisasi.
kammi-komisariat-aka.blogspot.com |
Pada
banyak kenyataan, KAMMI dalam hal ini, meninggalkan Kultural-nya. Keterjebakan
kerja mekanis layaknya mesin membuat daya luapan organisasi ini menjadi tidak
berdaya dobrak yang tinggi. Penggalian ide-ide sebagai penyegaran organisasi
dan gerakan, tergantikan dengan kerja-kerja rutinitas yang melelahkan.
Tidak
berarti kemudian hal ini difahami sebagai tawaran untuk meninggalkan
kerja-kerja dalam struktur ornganisasi. Penempatan ketiga hal: ideologi,
struktur, dan kultural pada posisi yang proporsional menjadi tawaran yang
semestinya layak untuk selalu dikuatkan. Gerakan kultural kader, semestinya
tidak dilabeli sebagai gerakan “makar”.
Struktural sebagai medium yang dapat menguasa,
mengatur serta mengejawantahkan ide, dapat menjadikan gerakan kultural ini
sebagai dapur penggodokkan ide-ide yang akan dijadikan kebijakan organisasi dan
gerakan dimasa mendatang. Pada sisi lain, gerakan kultural menjadi penjaga
terakhir yang siap untuk menginternalisasi etika kedalam setiap diri kader.
Sebgaimana
halnya Kung dengan etika globalnya yang menempatkan setiap manusia sama
derajatnya dan menjadi subjek setiap hak. Komersialisasi, penggunaan kader
sebagai alat semata, dan sebagai objek yang mendatangkan komersi, kader harus
dijauhakan dari hal demkian. Dengan begitu gerakan kultural dapat dijadikan
sebagai upaya untuk menjaga etika nilai dalam setiap diri kader.
Proporsional
dalam memandang Struktural dan Kultural penting agar semua kader KAMMI tidak
terjebak pada “sinisme”. Menganggap bahwa struktural itu benar sepenuhnya
ternyata juga tidak menjadikan adil setiap kader dalam menilai. Sebaliknya,
meyakini sepenuhnya gerakan kultural paling benar juga tidak proporsional.
Karena itu, perlu ada penyatuan kembali antara gerakan oleh Struktural dan
Kultural.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar