Oleh: Rifadli Kadir
Ketua KAMMI UIN Djogja Rumpun Darunnajah
Sejak lama, isu reformasi tanah dan agraria
sudah sering mencuat, bahkan sebelum adanya UU Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun
1960 yang mengatur tentang perlunya pembatasan kepemilikan lahan bagi penduduk
sehingga terdapat distribusi lahan bagi penduduk, khususnya petani. Sayangnya
UU yang baik itu tidak dieksekusi dengan baik di tingkat pemeritah sebabagi
hulu pengambil kebijakan. Hal ini berdampak serius ketika saat ini porsi
kepemilikan lahan oleh rakyat menjadi kecil. Dalam sektor pertanian misalnya,
tentunya kepemilikan lahan yang semakin kecil ini akan berakibat pada
berkurangnya produktivitas produksi pertanian.
Saat
ini akibat tidak adanya pembenahan serius oleh pemerintah terkait kepemilikan
lahan terjadi ketimpangan kepemilikan lahan. Lahan rakyat banyak dicaplok pemerintah
atas pesanan pemilik modal ataupun alasan pembuatan bangunan negara. Dititik
inilah, banyak dijumpai seruan dari berbagai pihak untuk kembali menyuarakan
Reformasi lahan. Reformasi lahan menjadi sangat penting agar dalam jangka
panjang negara ini tidak terperosok pada ketimpangan dan kemiskinan.
Potret
Konflik Agraria
Belum
hilang diingatan kita, beberapa tahun terakhir bahkan sampai sekarang di beberapa
daerah banyak terjadi konflik agraria. Jika membandingkan kuantitas konflik
dari tiga tahun terakhir 2010, 2011, dan 2012 terjadi trend peningkatan.
Konflik semacam ini adalah bagian dari klimaks keresahan warga yang terpendam
karena hak-haknya dirampas. Laporan data kekerasan dan konflik agraria yang
dikeluarkan Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) pada 2011 menyebut, ada 163
konflik agraria di seluruh Indonesia selama 2011 atau terjadi peningkatan
drastis jika dibandingkan pada 2010 (106 konflik). Sebanyak 22 petani/warga
yang tewas di wilayah-wilayah sengketa dan konflik agraria. Deputi
Riset dan Kampanye Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) Irwan Nurdin mengatakan
pata tahun 2012 jumlah konflik meningkat dari 163 konflik ditahun 2011 menjadi
198 dengan jumlah korban 141.915 keluarga. Banyaknya jumlah konflik dan korban pada
konflik agraria ini tentunya menimbulkan ekses negatif terhadap pemerintah.
Semacam ada pembiaran oleh pemerintah terhadap konflik-konflik yang ada. Di beberapa
tempat, salah satunya di Bima NTB, pemerintah malah menjadi musuh rakyat.
Pemerintah yang seharusnya menjadi pengayom dan pembela hak-hak rakyat berubah
menjadi pemerintah yang memperjuangkan hak pemilik modal.
Pemerintah
dalam Polemik Ekonomi Politik
Negara adalah agen (agency) atau kewenangan (authority)
yang mengatur dan mengendalikan persoalan-persoalan bersama atas nama
masyarakat.
Max Weber mendefinisikan negara sebagai komunitas manusia yang (berhasil) mengklaim
monopoli atas penggunaan absah kekuatan fisik dalam teritori tertentu
(1919:78).
Negara memliki kekuasaan dalam mengatur rakyatnya.
Kekuasaan
dalam teori Talcot Parson adalah kemampuan untuk menjamin terlaksananya
kewajiban-kewajiban yang mengikat, oleh kesatuan-kesatuan dalam suatu sistem
organisasi kolektif. Kewajiban adalah sah jika menyangkut tujuan-tujuan
kolektif. Jika ada perlawanan, maka pemaksaan melalui sanksi-sanksi negatif
dianggap wajar, terlepas dari siapa yang melaksanakan pemaksaan itu. Talcott
Parson melihat bahwa ada peluang untuk mencapai konsensus bersama dalam
perumusan kebijakan untuk mencapai tujuan bersama.
Fungsi pengaturan kekuasaan dalam suatu negara
diatur oleh organisasi yang bernama pemerintah. Pemerintah merupakan
perpanjangan tangan negara yang diamanatkan untuk bertindak atas nama negara
dan menyelenggarakan kekuasaan dari negara. Pemerintah pun mengambil peranan
dalam menentukan kebijakan-kebijakan ke arah tercapainya tujuan-tujuan
masyarakat serta sambil menertibkan hubungan-hubungan manusia dalam masyarakat. Dapat
disimpulkan bahwa inti utama fungsi pemerintah adalah mencapai tujuan
masyarakat secara bersama-sama.
Teori tentang pemerintahan dengan tujuan ideal
untuk mencapai tujuan masyarakat diatas, secara implementatif dilapangan perlu
ditelisik kembali, apakah sudah sesuai dengan fungsi sebenarnya atau tidak.
Dibanyak kasus, pemeritah tidak masuk dalam teori sebagai pengatur untuk
mencapai tujuan-tujuan masyarakat. Dalam kasus sengketa agraria misalnya,
pemerintah lebih banyak berpihak kepada pemilik modal sebagai pemesan yang
membutuhkan tanah daripada sebagai pembela rakyat dalam mempertahankan tanah.
Nampaknya dimensi ekonomi dalam perumusan
kebijakan politik menjadi tarikan kuat pemerintah dalam perumusan kebijakan.
Kasus korupsi bupati Buol adalah contoh betapa kuat tarikan ekonomi dalam
perumusan kebijakan politik. Praktik seperti ini tentunya dapat merugikan
masyarakat dalam waktu jangka panjang, serta lebih menguntungkan pemilik modal
sebagai pemesan pemilikan lahan.
Reformasi
Agraria: Sebuah Keharusan
Indonesia adalah negara yang penduduknya
sebagian besar menggantungkan dirinya pada pendapatan pertanian. Pemilikan
tanah oleh petani menjadi suatu keharusan, karena berkurangnya pemilikan tanah
berdampak pada berkurangnya pendapatan rakyat. Reformasi agraria mejadi suatu
keharusan untuk mengembalikan hak-hak lahan petani. Akan tetapi perlu
dipikirkan model dalam reformasi lahan.
Dalam literatur-literatur yang tersedia,
sekurangnya sampai saat ini terdapat empat model reformasi tanah yang sering
diambil oleh beberapa negara untuk mendistribusikan lahan. Empat model itu
ialah (1) radical land reform, (2) restitution of land right, (3) colonization, (4), market-based land reform.
Pertama, Radical land reform. Model ini
mengharuskan adanya pembagian lahan di tengah masyarakat. Pembagian lahan
dilakukan karena adanya ketimpangan pemilikan lahan yang sangat tinggi di tengah
masyarakat. Kedua, restitution of land right. Model ini
merupakan pemberian ganti rugi hak kepemilikan tanah yang diberikan kepada
petani. Ketiga, colonization. Model
ini menggunakan cara pencaplokan tanah, seperti yang dilakukan oleh
negara-negara maju kepada negara-negara berkembang. Keempat, market-based land reform. Model ini secara sederhana
memberikan kompetisi kepada masyarakat miskin untuk mendapatkan tanah sesuai
mekanisme pasar. Pada intinya model keempat ini walaupun fair tapi tetap memberikan peluang pelaku ekonomi yang kuat untuk
menelikung.
Konteks Indonesia, model pertama dan kedua
tampaknya adalah metode yang dapat diambil sebagai alternatif penyelenggaraan
reformasi lahan. Dua model ini tergantung political
will pemerintah untuk menyelesaikan konflik agraria yang terus
berkepanjangan ini. Tetapi reformasi lahan tidak hanya ditingkatan hulu saja,
ditingkatan hilir rakyat pun harus mulai berbenah agar reformasi yang dilakukan
tidak sia-sia.
Untuk mengatasi konflik agraria ada banyak
jalan keluar yang dapat diupayakan pemerintah, namum salah satu upaya yang
dapat dilakukan adalah dengan melakukan transformasi sektor pertanian secara
utuh. Ada tiga hal yang harus dilakukan dalam hal ini (1) pemerintah
menyediakan dan memperbaiki infrastruktur dasar yang diperlukan bagi
pembangunan pertanian, (2) memperkuat pasar sebagai media yang dapat
mempertemukan transaksi antara sektor hulu dan hilir disektor pertanian, (3)
menggandeng pelaku ekonomi swasta (private sector) untuk mengeksekusi
kegiatan lanjutan disektor pertanian, khususnya pemasaran dan pengolahan
komoditas pertanian sehingga memiliki keterkaitan dengan sektor non-pertanian.
Keterlibatan swasta bukan pada pemilikan lahan, tapi pada pemasaran dan
pengolahan hasil pertanian. Allahu ‘alam. []