Kamis, 09 Januari 2014

Mengeja Gorontalo (1)

http://www.indonesia.travel/

Suatu ketika saya terlibat diskusi panjang sambilsantai dengan beberapa teman Gorontalo sesama di rantauan Yogyakarta.Menariknya diskusi ini dipenuhi rasa cinta akan kampung halaman. Rasa cintayang menimbulkan empati. Kemudian saling terbuka atas perasaaan diri, cinta danempati itu bertemu pada titik-titik yang dihubungkan dengan garis panjangkontemplatif atas perkembagan ”diri” Gorontalo. 

Ibarat suatu “diri”, Gorantalo punya hakmengendalikan diri sendiri. Menjauhi penyakit, menghindari sakit, menguatkan imunkekebalan agar kuat diserang penyakit. Semua organ punya hak dan kewajibannyamenjaga diri. Tangan untuk mengatur, kaki untuk berlari, kepala untuk berpikirdan hati untuk merasa. 

Namun apa kondisi”diri” saat ini. Tangan mulai lemas mengatur, jangakauannya semakin pendek,bankan tak dapat lagi bekerja lebih giat. Imun kekebalan ”diri” semakinmenipis, hingga mudah diserang penyakit. Kaki semakin tak kuat berlari, semakinlambat untuk pergi sekadar berempati, lalu lumpuh tak terperi. Semua organterlihat lumpuh, daya upaya pun tinggal setengah antara ikhlas dan pragmatismenjaga diri. Padahal juga usia belum renta, masih muda belia. 

Seperti itulah mungkingambaran sebatas penglihatan kasat mata tanpa ukuran-ukuran empirikal yangrumit. Mungkin juga pandangan seorang yang jauh jaraknya dari tanah kelahirantercinta. Tapi begitulah mewakili sebagian perasaan beberapa anak yang sengajamenghijrahkan diri dan melihat Gorontalo dari jarak jauh. Entah perasaan itubenar atau salah, serta tanpa membutuhkan jawaban, namun begitulah yang merekarasakan.

Gorontalo yang dulupunya nyali keluar dari tirani oligarki dan menembus sentimen agama. Gorontaloyang berani mengambil sikap atas hegemoni yang mendeskriminasi. Gorontalo yang beranimenampilkan diri dengan karakter dan budayanya adi luhungnya. Namun saat ini,itu hanya tinggal romantisme masa lalu yang indah untuk dikenang. 

Orang tua kita dulubegitu bangga dengan bahasa daerah. Menjadikan bahasa daerah sebagai bahasakeseharian. Tanpa malu dan ragu, bahasa daerah menjadi alat untuk menyatukanjiwa dan semangat untuk menyadari bahwa kita berasal dari satu tanah yang sama,Gorontalo. Tidak orang tua, anak-anak juga dahulu dibiasakan untuk menghargaibahasa daerah serta menjadikannya bahasa keseharian. Karena itu tak heran jikapara orang tua kita begitu fasih melafalkan bahasa Gorontalo.

Bahasa daerah sebagaisalah satu kebudayaan Gorontalo, dulu begitu dijaga. Tidak hanya kalangan tua,kalangan muda juga ikut menjaga. Namun hal itu  mungkinhanya sampai pada orang tua kita kelahiran tahun 60-70an. Putra daerahkelahiran 80-90an ke atas mungkin tidak banyak yang lagi menaruh perhatianterhadap bahasa daerah. Tidak sedikit diantara angkatan 80-90an ke atas adaperasaan malu menggunakan bahasa daerah. Idiom tidak gaul, kampungan, gak jaman adalah alasan yang sering dijadikan hujah.

Anak-anak kita saatini tidak diajarkan untuk mencintai dan menjaga bahasa daerah. Bahasa-bahasa diluar kebudayaan kita malah menjadi pavorit. Misalnya, begitu tak ada malunyalagi seorang anak kepada orang tua menggunakan kata ngana, kita, -mohon maaf- juga kadang keluar kata anjing, babi kepada orang yang lebihtua. Padahal kata-kata seperti itu dalam budaya orang Gorontalo tidak dikenal.

Akibatknya tidakdikenal lagi, budaya saling menghormati seorang anak kepada orang tua. Apalagikepada sesama. Kata-kata kasar yang datang dari luar kebudayaan Gorontalodianggap suatu hal biasa. Sudah menjadi biasa tanpa merasa ada yang salahdengan budaya kita saat ini. Kita pun menikmati dan enjoy dengan itu. 

Penjaga budaya punsemakin longgar ikatan talinya untuk menjaga keberlangsungan budaya Gorontalo.Lalu bagaiamana masa depan kita? Bersambung...

Djogja, diantara kantuk, lamunan, dan diskusi...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar