http://www.indonesia.travel/ |
Suatu ketika
saya terlibat diskusi panjang sambilsantai dengan beberapa teman Gorontalo
sesama di rantauan Yogyakarta.Menariknya diskusi ini dipenuhi rasa cinta akan
kampung halaman. Rasa cintayang menimbulkan empati. Kemudian saling terbuka
atas perasaaan diri, cinta danempati itu bertemu pada titik-titik yang
dihubungkan dengan garis panjangkontemplatif atas perkembagan ”diri” Gorontalo.
Ibarat suatu
“diri”, Gorantalo punya hakmengendalikan diri sendiri. Menjauhi penyakit,
menghindari sakit, menguatkan imunkekebalan agar kuat diserang penyakit. Semua
organ punya hak dan kewajibannyamenjaga diri. Tangan untuk mengatur, kaki untuk
berlari, kepala untuk berpikirdan hati untuk merasa.
Namun apa
kondisi”diri” saat ini. Tangan mulai lemas mengatur, jangakauannya semakin
pendek,bankan tak dapat lagi bekerja lebih giat. Imun kekebalan ”diri”
semakinmenipis, hingga mudah diserang penyakit. Kaki semakin tak kuat berlari,
semakinlambat untuk pergi sekadar berempati, lalu lumpuh tak terperi. Semua
organterlihat lumpuh, daya upaya pun tinggal setengah antara ikhlas dan
pragmatismenjaga diri. Padahal juga usia belum renta, masih muda belia.
Seperti
itulah mungkingambaran sebatas penglihatan kasat mata tanpa ukuran-ukuran empirikal
yangrumit. Mungkin juga pandangan seorang yang jauh jaraknya dari tanah
kelahirantercinta. Tapi begitulah mewakili sebagian perasaan beberapa anak yang
sengajamenghijrahkan diri dan melihat Gorontalo dari jarak jauh. Entah perasaan
itubenar atau salah, serta tanpa membutuhkan jawaban, namun begitulah yang
merekarasakan.
Gorontalo
yang dulupunya nyali keluar dari tirani oligarki dan menembus sentimen agama.
Gorontaloyang berani mengambil sikap atas hegemoni yang mendeskriminasi.
Gorontalo yang beranimenampilkan diri dengan karakter dan budayanya adi
luhungnya. Namun saat ini,itu hanya tinggal romantisme masa lalu yang indah
untuk dikenang.
Orang tua
kita dulubegitu bangga dengan bahasa daerah. Menjadikan bahasa daerah sebagai
bahasakeseharian. Tanpa malu dan ragu, bahasa daerah menjadi alat untuk
menyatukanjiwa dan semangat untuk menyadari bahwa kita berasal dari satu tanah
yang sama,Gorontalo. Tidak orang tua, anak-anak juga dahulu dibiasakan untuk
menghargaibahasa daerah serta menjadikannya bahasa keseharian. Karena itu tak
heran jikapara orang tua kita begitu fasih melafalkan bahasa Gorontalo.
Bahasa
daerah sebagaisalah satu kebudayaan Gorontalo, dulu begitu dijaga. Tidak hanya
kalangan tua,kalangan muda juga ikut menjaga. Namun hal itu mungkinhanya
sampai pada orang tua kita kelahiran tahun 60-70an. Putra daerahkelahiran
80-90an ke atas mungkin tidak banyak yang lagi menaruh perhatianterhadap bahasa
daerah. Tidak sedikit diantara angkatan 80-90an ke atas adaperasaan malu
menggunakan bahasa daerah. Idiom tidak gaul, kampungan, gak jaman adalah
alasan yang sering dijadikan hujah.
Anak-anak
kita saatini tidak diajarkan untuk mencintai dan menjaga bahasa daerah.
Bahasa-bahasa diluar kebudayaan kita malah menjadi pavorit. Misalnya, begitu
tak ada malunyalagi seorang anak kepada orang tua menggunakan kata ngana,
kita, -mohon maaf- juga kadang keluar kata anjing, babi kepada orang
yang lebihtua. Padahal kata-kata seperti itu dalam budaya orang Gorontalo tidak
dikenal.
Akibatknya
tidakdikenal lagi, budaya saling menghormati seorang anak kepada orang tua.
Apalagikepada sesama. Kata-kata kasar yang datang dari luar kebudayaan
Gorontalodianggap suatu hal biasa. Sudah menjadi biasa tanpa merasa ada yang
salahdengan budaya kita saat ini. Kita pun menikmati dan enjoy dengan
itu.
Penjaga
budaya punsemakin longgar ikatan talinya untuk menjaga keberlangsungan budaya
Gorontalo.Lalu bagaiamana masa depan kita? Bersambung...
Djogja, diantara kantuk, lamunan, dan diskusi...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar