Oleh: Rifadli Kadir
(Sebuah Cerita)
Malam itu... Hujan turun, membasahi bumi, memberi
kekuatan baru bagi tanaman yang mulai mengering. Bagi banyak orang, malam itu
nampak indah dipandang dari balik kaca jendela. Apalagi bagi mereka yang sedang
memendam rindu yang belum kesampaian.
Tapi, malam yang indah bagi banyak orang
itu, tidak indah bagi Azzam. Malam itu ia harus memutuskan hal yang tidak mudah
dalam hidupnya, ini tentang cinta. Ia bingung apakah harus meneruskan cinta itu.
Cinta yang disimpan dalam diam. Cinta yang hanya ia, Allah dan hatinya yang
tahu seberapa besarnya. Cinta yang berharap balasan. Malam itu tak kuasa Azzam
menahan sesak dalam dadanya. Ia menutup malam itu dengan penuh doa dan harapan agar
cintanya dijaga oleh yang Kuasa.
****
Pagi itu, Azzam sudah sibuk menyiapkan dirinya menyambut
hari. Tengah kesibukannya itu, berdering handphone Azzam. Ada SMS
masuk...
“Zam... pagi ini bisa ketemu ndag? Penting?!
Untuk masa depanmu...!” pinta Rio, dari seberang sana.
Bagi Azzam sms ini tak seperti
biasanya, ada nada agak memaksa. Tapi ia berbaik sangka, siapa tau ada hal
penting mau disampaikan.
“Ada apa Rio? Balas Azzam.
“Nanti tak sampaikan langsung saja,
ini penting!” Rio tak langsung memberi tahu Azzam apa perlunya ia mengajak
ketemuan pagi itu.
“Ok bisa, tak tunggu di tempatku
ya...” balas Azzam yang agak penasaran.
Rio adalah salah satu teman baik
Azzam. Tapi bukan orang yang menjadi tempat Azzam menumpahkan keluh kesahnya.
Rio hanya sebatas teman se-organisasi dan seaktifitas dengan Azzam. Beberapa menit
kemudian Rio akhirnya sampai di tempat Azzam.
“Ane depan tempat nte skg...” SMS
Rio...
“Ok, tunggu di masjid depan ya,
ketemu disana saja”. Pintah Azzam...
Sambil
berjabat tangan Azzam menanyakan, “Ada apa akh...? kok kayaknya penting
amat...
“Begini akh, sebelumnya ane
minta maaf, tidak bermaksud mencampuri urusan antum. Tapi, ini
permintaan dari salah seorang yang antum kenal baik. Bahkan ia mengakui
kalau ia juga kenal baik dengan antum.... belum selesai Rio bercerita Azzam langsung
memotong pembicaraan.
“Bisa langsung pada intinya akh?
tukas Azzam...
“Sabar akh, ini harus
jelas...” jelas Rio
“Ok lah, lanjut akh....”
pintah Azzam.
“begini akh, kemaren ada
salah seorang yang mengaku bahwa ia punya harapan ke antum. Harapan yang
sudah sekian lama dipendam. Harapan yang selalu ia panjatkan dalam doa-doanya.
Harapan yang bisa berbalas untuk mencapai kesucian....” Jelas Rio panjang
lebar.
Azzam
tersentak. Ada perasaan bahagia, sekaligus kaget. Dirinya seakan
melayang-melayang dilangit kebahagiaan. Kenapa bisa secepat itu apa yang ia
harapkan dijawab oleh Allah. Muncul pertanyaan dalam hatinya. Apa ini
benar-benar kehendak Allah.
Tapi, Azzam
tidak mau larut dengan kebahagiaannya itu. Ia ingin tahu kenapa orang itu tanpa
disangka-sangka mengakui harapannya. Padahal itu tidak lazim bagi mereka yang
menjaga kesuciaannya demi mengharap ridho Allah. Apa ia tak mampu menahan harap
itu, hingga tak ada jalan lain selain mengakuinya. Azzam masih diam dengan
pertanyaan-pertanyaan kecil dalam hatinya.
Belum habis
dengan pertanyaan dalam diamnya, Azzam dikagetkan dengan penjelasan Rio...
“Tapi begini
Zam... antum harus menerima hal ini... “
“apa akh...?”
lirih Azzam dengan penuh tanya..
“Antum harus siap dan
bersabar dengan kenyataan bahwa ternyata orang itu sedang dijodohkan dengan
salah seorang pilihan orang tuanya. Hal itulah yang membuat dia bingung. Antara
mengikuti kata hati dengan harapan-harapannya, atau mengikuti kehendak orang
tuanya. Dan orang tuanya menginkan ia dapat berjodoh dengan pilihan orang tua...”
jelas Rio dengan suara agak tertahan.
Mendengar penjelasan
Rio, Azzam kaget yang kedua kalinya. Ia menarik nafas panjang dan terdiam
sejenak. Ada persaaan yang tidak menentu dalam dirinya. Azzam bingung, apakah
akan melanjutkan keinginannya itu atau merelakan orang yang diharapkan menjadi
pendamping hidupnya berjodoh dengan pilihan orang tuanya.
Azzam
bingung karena dalam pandangnya menikah itu bukan hanya menyatukan dua insan. Tapi
menikah adalah prosesi menyatukan dua keluarga dalam satu ikatan besar. Menikah
merupakan proses menjalani kehidupan untuk membangun peradaban yang dimulai
dari keluarga. Maka, mendapat ridho orang tua adalah mutlak. Inilah yang
membingungkan Azzam, jika cinta itu dilanjutkan bisa jadi orang tuanya belum
tentu merestui.
“lalu apa
yang harus ane lakukan?” tanya Azzam ke Rio...
“Akhwat itu meminta antum
segera mendatangi orang tuanya, itupun kalau antum serius. Kalau antum
gak serius, ya mau tidak mau dia harus menerima tawaran dari orang tuanya
itu...” jawab Rio.
Bagi mereka
yang menjaga kesucian hatinya, memilih mendatangi orang tuanya dan tanpa
pacaran ala anak muda masa kini merupakan budaya yang dipupuk dengan
benih-benih kebaikan hingga melahirkan pohon kesucian hati. Mereka memilih
jalan diam, dan sembari memperbaiki diri serta berharap kepada sang Kuasa agar
diberikan jodoh terbaik.
“hmm... Ane belum yakin akh.
Tapi, kalau itu harus dilakukan secepatnya mau tidak mau ane harus siap
menjalaninya...” lirih Azzam.
“Kalau antum siap dan serius.
Nanti ane sampaikan keseriusan antum. Akhwat itu juga akan
berusaha menjelaskan hal ini ke orang tuanya. Kalau sudah ada jawaban nanti ane
kasih tau... ” tukas Rio.
“okelah akh, ane tunggu
kepastiannya gimana...” pinta Azzam sambil mengakhiri pembicaraan. Karena ia harus
bersegera menyelesaikan beberapa
kewajiban pada hari itu.
Pagi itu
Azzam tidak fokus dengan dirinya. Bahkan itu terbawa sampai sepanjang harinya. Ia
kemudian teringat dengan pesan para Ulama dan orang bijak. Jika engkau berada
dalam kebingungan, maka mintalah fatwa pada hatimu dengan berharap diberikan
keluasan pilihan oleh Allah. Azzam langsung mengambil air wudhu dan segera
melakukan shalat istikhara. Ia masih duduk beristighfar setelah shalat,
namun perasaannya masih juga belum menentu pasti. Akhirnya ia memutuskan untuk
bersabar sambil menunggu balasan dari akhwat itu.
Dua hari berselang, namun Azzam belum juga menemukan
jawaban...
(besambung...)
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar