Selasa, 07 Februari 2012

PEMERINTAH ‘HAMA’ PERTANIAN


Indonesia tidak dapat dipungkiri lagi adalah Negara yang memiliki potensi pertanian yang dapat dibanggakan dengan negara lain. Potensi lahan pertanian Indonesia terlihat dari luas lahan pertanian di beberapa daerah.. Potensi ini tidak lain dan tidak bukan ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat. Karena pada dasarnya dari sekitar 60% penduduk Indonesia tinggal di pedasaan yang memiliki tingkat pendapatan dibawah rata-rata. Sedangkan 70% dari total penduduk di pedesaan hidup dari pertanian. Sebagian besar adalah petani pangan berupa padi, peternakan, perikanan dan hasil hutan lainnya. Sebagian dari petani itu, 50% adalah petani yang memilik lahan sempit kurang dari 0,5 Ha bahkan Tuna Kisma sehingga bekerja sebagai buruh tani dan buruh perkebunan. Melihat taraf hidup hidup penduduk ini, maka pengelolaan pertanian untuk pertumbuhan ekonomi rakyat dan untuk ketersedian bahan pangan seperti beras pada masa yang akan datang menjadi mutlak.

Dengan pertumbuhan ekonomi hasil pertanian masyarakat, secara tidak langsung akan berpengaruh pada aspek lain, misalnya pendidikan dan kesehatan. Orang dapat menyekolahkan anaknya lebih tinggi ketika ia punya biaya yang cukup. Namun pertumbuhan ekonomi rakyat dan ketercukupan bahan pangan untuk masa depan seakan hanya menjadi impian belaka. Betapa tidak, kondisi pertanian Indonesiapada saat ini sungguh memprihatinkan. Hal ini terlihat dari beberapa hal, pertama, Kemampuan pertanian untuk memenuhi kebutuhan pangan sendiri dalam negeri, relatif telah dan sedang menurun dengan sangat besar. Pada waktu ini Indonesia berada dalam keadaan "Rawan Pangan" bukan karena tidak adanya pangan, tetapi karena pangan untuk rakyat Indonesia sudah tergantung dari Supply Luar Negeri, dan ketergantungannya semakin besar. Kedua, Pasar pangan amat besar yang kita miliki diincar oleh produsen pangan luar negri yang tidak menginginkan Indonesia memiliki kemandirian di bidang pangan.

Ditambah lagi dengan terlibatnya pemerintah Indonesia pada pengadopsian kebijakan pangan ala neo liberal selama 20 tahun terakhir yang sangat pro pasar bebas (free market). IMF dalam hal ini sebagai lembaga keuangan Internasional yang sangat berpengaruh dalam mengarahkan dan mendikte kebijakan suatu Negara. Kebijakan-kebijakan pemerintah Indonesia yang dipengaruhi oleh IMF antara lain yaitu penghapusan dan atau pengurangan subsidi, penurunan tarif inpor komoditi pangan yang merupakan bahan pokok seperti beras, dan pengurangan peran pemerintah dalam perdagangan bahan pangan, contohnya merubah BULOG dari lembaga pemerintah non-departemen menjadi perusahaan umum yang dimiliki pemerintah.

Kebijakan ini dari sisi lain menjadikan para petani merasa dirugikan. Misalnya yang berkaitan langsung dengan pegurangan dan penghapusan subsidi, telah menyebabkan harga bahan obat-obatan seperti pupuk yang diperlukan petani untuk menyuburkan dan mempercepat penanaman menjadi semakin mahal dari hari ke hari. Misalnya Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian yang mulai berlaku pada tanggal 1 januari 2012 harga eceran tertinggi (HET) pupuk urea Bersubsidi naik 12,5 persen menjadi Rp. 1800 per kilogram dari sebelumnya Rp. 1600 per kilogram. Kenaikan harga pupuk mungkin bagi sebagaian petani yang menerima begitu saja keputusan ini tidak menjadi masalah. Akan terapi bagi sebagian petani petani yang tidak mampu membeli pupuk dengan harga tinggi hal ini terasa berat.

Tidak hanya menaikan harga pupuk, petani pun semakin kecewa dengan sikap pemerintah yang cenderung megimpor beras dari luar negeri dengan alasan untuk memenuhi kebetuhan dalam negeri, terlebih lagi dengan pengalihan lahan pertanian menjadi pabrik-pabrik dan bangunan megah tercatat sekitar 100-110 Hektar per tahun. Sehingga mengakibatkan potensi hilangnya produksi padi sekitar 506.000 per tahun. Di Yogyakarta misalnya menurut data BPS terjadi penurunan Produksi padi dari 837.930 ton pada tahun 2009 menjadi 804.772 pada tahun 2011.

Kekecewaan petani pun semakin berlanjut. Sekarang terlihat bahwa pemerintah tidak lagi berpihak kepada petani. Kalau dulu petani dirugikan dengan Hama berupa hewan yang suka memakan dan merusak padi petani, sekarang Hama itu bertamah tidak hanya dari hewan tetapi juga dari wujud yang lain. Pemerintah adalah wujud baru ”Hama” Pertanian. Hal ini sungguh sangat disayangkan. Padahal pembangunan pertanian dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM) 2010-2014 Pemerintah Indonesia sangat menjamin kesejahteraan petani untuk peningkatan produksi pertanian. Kebijakan ini mungkin hanya ditulis dengan rapi kemudian disimpan dalam lemari dan tidak dibaca lagi sehingga pemerintah lupa. Oleh karena itu dirasa perlu untuk di evaluasi.

Melihat hal ini, harus segera dilakukan pembenahan, baik bagi pemerintah maupun petani. Menurut Prowse dan Chimhowu (2007) dalam studinya yang bertajuk “Making Agriculture Work for The Poor” ada tiga hal yang hatus dilakukan oleh pemerintah untuk mendorong pertumbuhan pertanian. Pertama pentingnya pembangunan infrastruktur yang mendukung perekonomian masyarakat. Infrastruktur merupakan faktor kunci dalam mendukung program pengentasan kemiskinan yang dalam hal ini petani di pedesaan. Di Vietnam, pesatnya penurunan angka kemiskinan tak lepas dari tingginya investasi untuk pembangunan irigasi dan jalan yang mencapai 60 persen dari total anggaran sektor pertanian mereka pada akhir dekade 1990-an. Hal yang sama juga dilakukan di India yang membangun infrastruktur pedesaan. Bahkan di Ethiopia yang pernah mengalami krisis pangan dan kelaparan pada pertengahan dekade 1980-an, perbaikan jalan di pedesaan dan peningkatan akses pasar bagi para petaninya mampu mengangkat tingkat kesejahteraan para petaninya.
Kedua, perluasaan akses pendidikan. Pendidikan memainkan peranan yang penting dalam mengentaskan kemiskinan di pedesaan melalui tiga saluran yakni dimana tingkat pendidikan berkaitan erat dengan peningkatan produktivitas di sektor pertanian itu sendiri. Kemudian, pendidikan juga berhubungan dengan semakin luasnya pilihan bagi petani untuk bisa bergerak di bidang usaha di samping sektor pertanian itu sendiri yang pada gilirannya juga akan dapat meningkatkan investasi di sektor pertanian. Terakhir, pendidikan juga berkontribusi terhadap migrasi pedesaan–perkotaan. Namun demikian di India, Uganda, dan Ethipia migrasi terjadi antar desa. Buruh tani yang berpendidikan di Bolivia dan Uganda lebih memiliki posisi tawar yang tinggi dalam hal upah yang lebih baik.

Ketiga adalah penyediaan informasi baik melalui kearifan lokal setempat maupun fasilitasi dari pemerintah. Karena pada umumnya petani adalah orang miskin yang memiliki modal sosial rendah sehingga kesulitan dalam akses terhadap informasi, misalnya informasi mengenai teknik-teknik pertanian terbaru, informasi pemasaran hasil pertanian, dan informasi mengenai pasar yang potensial untuk hasil pertanian. Termasuk menyediakan pupuk yang murah merupakan kebijakan pemerintah dalam menyediakan fasilitas bagi masyarakat. Adapun bagi masyarakat, pembenahan dapat dilakukan dengan cara menigkatkan kemandirian petani sehingga tidak selalu bergantung pada bantuan pemerintah dan memanfaatkan potensi sumber daya kawasan atau pedesaan untuk pertumbuhan pertanian seperti pembuatan pupuk organik secara mandiri. Wallahu’alam.


*Penulis adalah Pegiat Forum Malam Jum'at Kliwon

Tidak ada komentar:

Posting Komentar